VOICEINDONESIA.CO, Batam – Penanganan perdagangan manusia memerlukan pendekatan komprehensif lintas sektor karena akar masalahnya bersifat struktural.
Menurut Staf Ahli Menteri Hak Asasi Manusia (HAM), Rumadi Ahmad persoalan perdagangan manusia telah terjadi sejak lama dalam sejarah kemanusiaan. Di Indonesia sendiri, fenomena ini sudah digulati sejak 1922 ketika Ibu Khusud berupaya menghentikan perdagangan perempuan dan anak.
“Kalau mau menutup kerannya, harus diperhatikan akar masalahnya yang terkait tingkat pendidikan, lapangan pekerjaan, dan kemiskinan. Jadi tidak bisa hanya dilihat dari satu sisi saja,” jelasnya pada Kamis (27/11/2025).
Baca Juga: Perekrutan PMI Ilegal Kian Marak, TPPO Jadi Kejahatan Bisnis Terorganisir
Rumadi mengkritisi pendekatan yang hanya fokus pada aspek hukum pidana. Ia mencontohkan penggunaan alat deteksi Tindak Pidana Perdagangan Orang atau TPPO di bandara yang sebatas mengidentifikasi korban potensial namun tidak menyelesaikan akar masalah.
“Kita harus keluar dari pola yang terlalu sempit. Ini bukan hanya masalah hukum tapi masalah struktural yang melibatkan aspek kebijakan, investasi, dan politik,” tegasnya.
Baca Juga: Dilema P3MI: Antara Tumpang Tindih Regulasi dan Bayang-Bayang Pidana
Pria bergelar profesor ini menekankan Indonesia telah meratifikasi konvensi internasional tentang perdagangan orang dan memiliki komitmen mencapai eliminasi TPPO pada 2030 sesuai Sustainable Development Goals (SDGs).
Namun kenyataannya, perhatian terhadap TPPO masih terfragmentasi antara fokus eksploitasi seksual, kerja paksa, dan pengambilan organ tubuh.
“Perhatian besar terhadap tindak pidana perdagangan orang itu ada yang lebih fokus pada eksploitasi seksual, ada yang fokus pada kerja paksa. Dalam konteks pekerja migran, ini sering luput dari perhatian serius,” ujarnya.
Sementara itu, Kepala Kanwil Kemenag Kepri, Zostafia mengakui Kepulauan Riau menjadi salah satu provinsi paling rawan TPPO.
“Salah satu provinsi yang sangat rawan dan menjadi perlintasan TPPO adalah Kepulauan Riau. Karena Kepri berbatasan langsung dengan beberapa negara tetangga,” jelasnya.
Zostavfia menyampaikan Kanwil Kemenag yang menjadi anggota Satgas TPPO bagian pencegahan telah melakukan pendekatan agama dengan komunikasi kepada seluruh tokoh agama.
“Kami melakukan pendekatan agama dengan komunikasi dengan seluruh tokoh agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha. Bahwa pelanggaran perdagangan orang ini juga merupakan pelanggaran agama, ini sangat penting,” tegasnya.
Rumadi menekankan pentingnya advokasi tidak hanya dalam bentuk pendampingan hukum tapi juga non-hukum seperti rehabilitasi psikologis dan reintegrasi sosial bagi korban.
Hal ini mencakup membangun trauma healing center dan memberikan bantuan modal usaha agar korban tidak kembali terjebak dalam situasi serupa.

