PENGESAHAN Undang-Undang Nomor 63 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian menandai babak baru dalam pelaksanaan fungsi keimigrasian di Indonesia.
Revisi ini bukan sekadar penyesuaian administratif, melainkan sebuah respons mendesak negara terhadap dinamika mobilitas global, ancaman kejahatan transnasional, serta tuntutan kepastian hukum yang diamanatkan oleh konstitusi.
Inti dari perubahan ini adalah penguatan kewenangan Pejabat Imigrasi dalam menjalankan perannya sebagai penjaga gerbang negara, sambil memastikan setiap tindakan hukum didasari prinsip keadilan dan hak asasi manusia.
Peningkatan Daya Paksa dan Pengawasan Keamanan
Salah satu poin krusial yang disorot adalah penambahan kewenangan yang bersifat represif. Berdasarkan Pasal 3 ayat (4), Pejabat Imigrasi tertentu kini dapat dilengkapi dengan senjata api untuk melaksanakan fungsi keimigrasian di bidang penegakan hukum dan keamanan negara.
Ketentuan ini secara eksplisit menegaskan status Imigrasi sebagai bagian integral dari aparat penegak hukum, terutama dalam menghadapi kejahatan terorganisir yang kerap melibatkan perlintasan batas.
Penguatan kewenangan ini juga terlihat dalam mekanisme pengawasan orang asing. Pasal 72 mewajibkan pemilik atau pengurus tempat penginapan untuk memberikan data orang asing yang menginap kepada Pejabat Imigrasi dan/atau Kepolisian yang bertugas.
Koordinasi antara Imigrasi dan Kepolisian dalam meminta data ini menjadi kunci untuk mendeteksi dan menindak penyalahgunaan izin tinggal atau aktivitas ilegal. Bahkan, UU ini memperjelas sanksi pidana bagi pihak penginapan yang tidak memenuhi kewajiban tersebut.
Menegakkan Kepastian Hukum: Pembatasan Jangka Waktu
Di sisi lain, UU No. 63 Tahun 2024 menunjukkan komitmen terhadap kepastian hukum, khususnya dalam menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi. Kewenangan Imigrasi untuk membatasi pergerakan seseorang, baik keluar maupun masuk wilayah Indonesia, kini diatur dengan batas waktu yang lebih ketat:
1.Pencegahan (Exit Ban): Jangka waktu Pencegahan keluar wilayah Indonesia dibatasi maksimal 6 bulan dan hanya dapat diperpanjang maksimal 6 bulan tambahan. Hal ini memberikan kepastian bagi Warga Negara Indonesia (WNI) yang tengah berperkara hukum dan mencegah penahanan hak bergerak yang berkepanjangan.
2.Penangkalan (Entry Ban): Jangka waktu Penangkalan masuk ke wilayah Indonesia ditetapkan maksimal 10 tahun dan dapat diperpanjang maksimal 10 tahun tambahan. Batasan waktu yang tegas ini meskipun masih dimungkinkan Penangkalan seumur hidup untuk kasus yang mengganggu keamanan dan ketertiban umum adalah upaya untuk memberikan kejelasan status bagi orang asing yang bermasalah.
Selain itu, dalam Pasal 16, frasa “penyelidikan dan” telah dihapus sebagai salah satu alasan penolakan keluar wilayah Indonesia, menyisakan “diperlukan untuk kepentingan penyidikan dan penuntutan”. Koreksi ini sangat penting karena memperjelas batasan kewenangan Imigrasi agar tidak bertentangan dengan hak konstitusional warga negara.
Identitas Nasional dan Dukungan Pembangunan
Revisi ini juga menyentuh aspek identitas dan pelayanan. UU 63/2024 secara eksplisit menambahkan Pasal 24A, yang menyatakan bahwa Dokumen Perjalanan Republik Indonesia (DPRI) merupakan dokumen negara yang menjadi bukti kewarganegaraan Indonesia. Penegasan ini memperkuat legalitas paspor sebagai identitas primer WNI di mata hukum internasional.
Secara umum, perubahan regulasi ini didorong oleh kebutuhan untuk menyeimbangkan kebijakan yang lebih terbuka dalam rangka menarik investor dan wisatawan berkapabilitas tinggi (pasca-COVID-19) dengan kebijakan selektif yang didukung sistem pengawasan dan deteksi lalu lintas orang yang lebih canggih. Selain itu, UU ini juga membuka peluang alternatif sumber pembiayaan yang sah (di luar APBN) untuk penguatan kelembagaan dan sarana prasarana Imigrasi.
Penutup
Secara keseluruhan, Undang-Undang Nomor 63 Tahun 2024 adalah langkah maju Imigrasi Indonesia untuk menjadi institusi yang modern dan adaptif. Kewenangan Imigrasi tidak hanya diperluas untuk menjaga keamanan negara dengan daya paksa yang lebih besar (senjata api, koordinasi data), tetapi juga ditegaskan batas-batasnya demi menghormati hak asasi dan menjamin kepastian hukum.
Tantangan terbesar pasca-revisi ini terletak pada implementasi: memastikan penggunaan senjata api dilakukan secara profesional dan akuntabel, serta menjalankan mekanisme pencegahan dan penangkalan secara konsisten sesuai batas waktu yang baru ditetapkan. Dengan demikian, fungsi keimigrasian dapat terwujud sebagai penegak kedaulatan yang humanis dan mendukung kepentingan nasional.

