VOICEINDONESIA.CO, Surakarta – Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI) yang sempat diunggulkan sebagai instrumen harmonisasi konvensi internasional, kini dinilai tidak memadai dan justru semakin diperlemah oleh regulasi lain, khususnya Omnibus Law Cipta Kerja.
Kelemahan mendasar dari undang-undang tersebut diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Migrant CARE, Wahyu Susilo, melalui laporan alternatif yang disampaikan kepada Sidang Komite Pekerja Migran PBB ke-41 di Jenewa. Menurut Wahyu, situasi perlindungan semakin diperburuk oleh kehadiran Omnibus Law Cipta Kerja.
“Undang-undang 18 tahun 2017 yang digadang-gadang sebagai instrumen harmonisasi dari konvensi ini ternyata tidak cukup memadai. Sudah tidak cukup memadai. Dibumbarkir juga dengan Omnibus Law Cipta Kerja,” ungkapnya dalam diskusi publik pada Selasa (2/12/2025).
Baca Juga: Dukungan RI Dipertanyakan: Perwakilan Tak Tampak di Tengah Duka PMI
Persoalan regulasi ini menjadi pertanyaan berulang dari Komite PBB karena Pemerintah Indonesia pada September 2017 pernah menjanjikan akan ada undang-undang yang menjalankan harmonisasi konvensi perlindungan pekerja migran.
Namun, janji tersebut dinilai belum terpenuhi dengan baik hingga saat ini. Wahyu menjelaskan lebih lanjut, “Pemerintah Indonesia menjanjikan bahwa akan ada undang-undang yang akan menjalankan atau menjadi harmonisasi dari konvensi ini. Tapi senyatanya ternyata undang-undang 18 tahun 2017 yang digadang-gadang sebagai instrumen harmonisasi dari konvensi ini ternyata tidak cukup memadai.” Lanjut wahyu.
Baca Juga: Marak Penipuan Calon PMI, Pemerintah Perketat Verifikasi Rekrutmen
Ia juga menyoroti bahwa kebijakan perlindungan pekerja migran sama sekali tidak menjadi bagian signifikan dalam RPJPN maupun RPJMN, yang menunjukkan bahwa isu ini bukan concern utama pemerintah, meskipun telah lahir kementerian baru.
Senada dengan kritik tersebut, Staf Human Rights Working Group (HRWG), Ariela N. Syifa, menambahkan bahwa Komite PBB juga mempertanyakan transformasi kelembagaan dari BP2MI ke KP2MI dan adanya kelemahan koordinasi antar pemerintah dalam perlindungan pekerja migran.
“Ada menyentuh terkait kerja migran bagaimana transformasi ke KP2MI dari BP2MI dan tentu lemahnya koordinasi antar pemerintah dalam hal perlindungan pekerja migran,” ujar Ariela.
Ia menguraikan bahwa kondisi ini diperparah dengan adanya overlap dan miskoordinasi yang serius antara Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian KPPMI, Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk pekerja sektor maritim, serta Kementerian Luar Negeri, membuat perlindungan menjadi tidak optimal.
Ironisnya, Undang-Undang Cipta Kerja, yang sempat dinyatakan inkonstitusional bersyarat melalui UU Nomor 6 Tahun 2023, justru dikembalikan lagi dan dinilai semakin memperlemah perlindungan pekerja migran. Padahal, regulasi seharusnya berfungsi untuk memperkuat, bukan justru memperlemah sistem perlindungan yang sudah ada.

