VOICEINDONESIA.CO, Jakarta – Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkapkan penyebab bencana banjir bandang dan longsor yang melanda di 5 kabupaten pada Provinsi Aceh hingga Sumatera. Bencana yang menerjang Humbang Hasudutan, Agam, Mandailing Natal, Gayo Lues, dan Aceh Tenggara ini dipicu oleh tiga faktor utama yang saling memperkuat dampak kerusakan.
Plt. Kepala Badan Geologi Kementerian ESDM, Lana Saria menjelaskan bahwa curah hujan tinggi hingga ekstrem menjadi faktor dominan yang memicu bencana masif ini. Kondisi ini diperparah oleh kondisi geomorfologi wilayah yang memiliki kemiringan lereng curam hingga sangat curam, serta struktur litologi tanah yang lapuk dan mudah tererosi.
Kombinasi ketiga faktor tersebut menciptakan situasi berbahaya yang membuat wilayah-wilayah tersebut sangat rentan terhadap bencana alam. Curah hujan ekstrem yang mengguyur kawasan perbukitan dengan tanah lapuk langsung memicu longsor dan banjir bandang yang menelan banyak korban jiwa.
Baca Juga: Kunjungi Kemensos, 4 Pemda Curhat Masalah Kemiskinan hingga Bencana
“Peningkatan kapasitas masyarakat desa rawan bencana melalui identifikasi tanda awal longsor, jalur evakuasi, serta revitalisasi vegetasi lereng menjadi fondasi pencegahan di tingkat tapak,” jelas Lana dalam dalam keterangan resminya yang diterima di Jakarta, Minggu (30/11/2025).
Lana menekankan pentingnya pengendalian tata guna lahan pada lereng curam, termasuk pembatasan pembukaan lahan baru dan perbaikan sistem drainase permukaan. Langkah struktural ini dinilai sangat menentukan dalam menurunkan risiko bencana pada kawasan permukiman yang berada di area rawan longsor.
Baca Juga: Paparkan Sistem Peringatan Dini, Indonesia Ajak Kamboja Perkuat Ketangguhan Bencana
Khusus untuk longsor yang melanda dua kabupaten di Sumatra Utara, Lana mengungkapkan bahwa lokasi bencana umumnya berada di kawasan perbukitan curam hingga sangat curam yang mengelilingi Kota Sibolga, khususnya di sisi timur-selatan. Kawasan ini memang sudah lama diidentifikasi sebagai zona rawan bencana.
“Berdasarkan Peta Zona Kerentanan Gerakan Tanah, secara umum Kota Sibolga berada pada zona potensi gerakan tanah menengah-tinggi,” ungkap Lana.
Sementara itu, Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Teuku Faisal Fathani mengungkapkan bahwa cuaca ekstrem yang terjadi dipicu oleh perkembangan Bibit Siklon Tropis 95B. Fenomena cuaca ini teridentifikasi sejak 21 November 2025 di perairan timur Aceh dan Selat Malaka.
Bibit Siklon 95B terus meningkat intensitasnya dan memicu cuaca ekstrem berupa hujan lebat hingga ekstrem serta angin kencang di wilayah Aceh, Sumatra Utara, Sumatera Barat, Riau dan sekitarnya. Siklon ini menjadi katalis utama yang mendorong curah hujan mencapai level berbahaya.
“Masyarakat di wilayah terdampak diimbau untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap potensi cuaca ekstrem akibat dampak dari Bibit Siklon 95B,” kata Teuku Faisal.
BMKG juga mendeteksi keberadaan ancaman baru berupa Meso Siklon Konvektif Kompleks (Mesoscale Convective Complex/MCC) di Samudra Hindia barat Sumatra. Sistem badai petir berskala besar ini berpotensi memicu bencana susulan, khususnya untuk wilayah Mandailing Natal dan mayoritas wilayah Sumatera Barat.
MCC merupakan sistem cuaca ekstrem yang dapat menimbulkan hujan dengan intensitas sangat tinggi dalam durasi panjang, disertai angin kencang hingga hujan es. BMKG terus memantau perkembangan fenomena ini dan mengimbau stakeholder terkait untuk mempersiapkan langkah mitigasi guna meminimalisir korban dan kerugian lebih lanjut.
Peringatan dini ini menjadi sangat krusial mengingat wilayah-wilayah terdampak masih dalam kondisi rapuh pasca-bencana. Tanah yang sudah jenuh air dan struktur lereng yang rusak membuat kawasan tersebut sangat rentan terhadap longsor susulan jika hujan deras kembali mengguyur.

