KEHADIRAN Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (KP2MI), sebagai salah satu institusi baru di era pemerintahan Prabowo Subianto, disambut dengan ekspektasi publik yang melambung tinggi.
Harapannya jelas: sebuah era baru perlindungan yang lebih sistemik, kuat, dan berpihak pada para pahlawan devisa. Namun, setelah beberapa waktu berjalan, kinerja kementerian ini justru mengundang sorotan tajam dan pertanyaan mendasar: sudah benarkah arah kebijakan yang ditempuh?
Baca Juga : Menteri P2MI Sambut 196 PMI yang Dideportasi dari Malaysia di Dumai
Alih-alih membangun fondasi regulasi yang kokoh, KP2MI tampak terjebak dalam pendekatan yang reaktif dan kurang strategis.
Praktik pengawasan yang dilakukan kerap diibaratkan seperti “berburu di kebun binatang” gegap gempita melakukan inspeksi mendadak (sidak) terhadap pelanggaran di hilir, namun abai terhadap tugas utamanya dalam menciptakan ekosistem peraturan yang jelas dan konsisten di hulu.
Kebijakan yang dirancang untuk mengatur dan mengelola Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI) justru sering kali tumpang tindih dan membingungkan, menciptakan celah yang menyulitkan pengawasan dan, pada akhirnya, merugikan para pekerja migran itu sendiri.
Baca Juga : KPK Sebut Dirjen Binapenta Terima Suap Rp 18 Miliar Dalam Kasus TKA
Ironisnya, saat berhadapan dengan pemangku kepentingan eksternal, kementerian yang diharapkan menjadi garda terdepan ini justru tampil bak “macan ompong”. Ketidakmampuan dalam berkoordinasi secara efektif dan ketidakpahaman akan tugas pokok dan fungsinya (TUPOKSI) sendiri sering kali terlihat.
Sikap ini tidak hanya melemahkan posisi Indonesia dalam diplomasi perlindungan pekerja migran Indonesia (PMI), tetapi juga mengirimkan sinyal keliru kepada semua pihak yang terlibat dalam ekosistem ini.
Mata elang publik dan warganet, yang menaruh harapan besar, semakin dibuat kecewa dengan serangkaian blunder yang tidak perlu. Salah satunya adalah penerapan kebijakan sertifikasi bagi staf dan kantor cabang P3MI yang terkesan dipaksakan, tanpa mempertimbangkan kualifikasi pendidikan yang relevan bagi banyak pesertanya.
Baca Juga : Begini Modus Oknum Pejabat Kemnaker dalam Kasus Pemerasan Pengurusan TKA
Langkah ini lebih menunjukkan inefisiensi dan ketidakpahaman dalam menyusun aturan yang aplikatif ketimbang sebuah upaya peningkatan kualitas.
Puncak dari serangkaian langkah yang mencederai nalar publik adalah penyelenggaraan kegiatan seperti turnamen golf yang menggunakan nama dan piala menteri, lengkap dengan upaya penggalangan donasi. Di saat ribuan pekerja migran Indonesia (PMI) di luar sana masih berjuang menghadapi kerentanan, penyiksaan dan ketidakadilan, mengadakan acara seremonial yang mewah adalah sebuah tindakan yang sangat tidak simpatik.
Kegiatan semacam ini sama sekali tidak menyentuh akar permasalahan dan kebutuhan riil para PMI. Energi dan sumber daya yang seharusnya dicurahkan untuk perlindungan nyata justru dihabiskan untuk pencitraan simbolis yang kosong makna.
Baca Juga : Editorial VOICEIndonesia.co : Jadi Masalah Setiap Musim Haji, Siapa Untung Dari Haji Sendal Jepit