KASUS dugaan malapraktik penerbitan paspor di salah satu kantor imigrasi di Jawa Barat, yang kini berujung pada upaya pembungkaman media, adalah alarm keras bagi kebebasan pers dan transparansi di negara ini.
Kejadian ini tidak hanya menyoroti bobroknya sistem, melainkan juga secara terang-terangan menunjukkan betapa rentannya media dihadapkan pada tekanan dari oknum-oknum berkuasa.
Redaksi VOICEIndonesia.co, melalui kerja keras investigatif, berhasil mengungkap dugaan rekayasa data signifikan dalam penerbitan paspor atas nama DSC. Data valid menunjukkan perubahan tahun kelahiran dari 1956 menjadi 1970, secara instan “memudakan” usia DSC 14 tahun.
Manipulasi data vital pada tiga dokumen identitas ini merupakan indikasi kuat adanya persekongkolan terorganisir antara calo dan oknum petugas imigrasi. Praktik semacam ini, disinyalir, menjadi celah bagi oknum tidak bertanggung jawab untuk meraup keuntungan finansial dari proses yang seharusnya berjalan sesuai aturan.
Lebih jauh, penelusuran tim redaksi menemukan fakta mencengangkan: DSC adalah salah satu calon jemaah haji yang baru-baru ini dideportasi dari Arab Saudi. Data perlintasan imigrasi mencatat keberangkatan DSC dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta pada 13 Mei 2025 dengan Saudi Arabian Airlines (SV 819) dan kepulangannya pada 10 Juni 2025 dengan Qatar Airways (QR 954).
Temuan ini memperkuat dugaan pemalsuan usia terkait modus keberangkatan haji menggunakan visa non-haji, atau yang dikenal dengan “haji sandal jepit”. Bahkan, dugaan keterlibatan oknum petugas imigrasi di pintu perlintasan Bandara Soekarno-Hatta pun menguat, mengingat semestinya mereka dapat mencegah keberangkatan yang tidak sesuai prosedur.
Penyelidikan jurnalistik semacam ini adalah esensi dari peran media sebagai pilar keempat demokrasi: mengawasi kekuasaan, mengungkap kebenaran, dan menyajikannya kepada publik.
Namun, ironisnya, upaya salah satu oknum Kepala Imigrasi di Provinsi Jawa Barat untuk meminta penghapusan hasil karya jurnalistik ini adalah tindakan yang patut dikutuk. Permintaan ini bukan hanya intimidasi, melainkan juga bentuk pembungkaman yang membahayakan kebebasan pers dan hak publik untuk mendapatkan informasi yang akurat.
Pembungkaman media adalah serangan langsung terhadap demokrasi. Ketika suara jurnalis dibungkam, kebenaran terancam gelap, dan praktik-praktik ilegal akan terus berkembang tanpa pengawasan.
Penting bagi kita semua untuk berdiri teguh di belakang media yang berani mengungkap kebobrokan, terutama ketika berhadapan dengan oknum yang menggunakan kekuasaan untuk menutupi kejahatan. Kebebasan pers bukanlah anugerah, melainkan hak yang harus terus diperjuangkan dan dilindungi.