VOICEINDONESIA.CO, Surakarta – Marginalisasi masyarakat sipil dalam upaya perlindungan pekerja migran dan kriminalisasi terhadap aktivis anti-trafficking menjadi sorotan tajam dalam laporan alternatif yang disampaikan ke Sidang Komite Pekerja Migran PBB ke-41 di Jenewa.
Direktur Eksekutif Migrant CARE, Wahyu Susilo, mengungkapkan fakta mengejutkan tentang perlakuan pemerintah terhadap aktivis yang berjuang melindungi korban perdagangan orang. Bahkan, penghargaan untuk masyarakat sipil yang selama ini rutin diberikan justru dihilangkan tanpa alasan yang jelas.
“Bagaimana soal penyingkiran, soal marginalisasi masyarakat sipil di dalam konteks misalnya pelindungan pekerja migran, maupun di dalam konteks TPPO, yang terjadi malah ada kriminalisasi terhadap aktivis TPPO,” ungkap Wahyu dalam diskusi publik (2/12/2025).
Baca Juga: UU PPMI Mandul, Perlindungan Pekerja Migran Terkikis Omnibus Law
Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) tidak lagi memberikan rekognisi pada peran masyarakat sipil melalui Hassan Wirajuda Pelindungan Award. Program penghargaan yang sebelumnya rutin diberikan kepada para aktivis dan organisasi yang berjasa dalam perlindungan pekerja migran ini tiba-tiba dihentikan.
“Kementerian Luar Negeri tidak lagi memberikan rekognisi pada peran masyarakat sipil melalui Yasat Wirayuda Award. Juni ini adalah penjuri dari Yasat Wirayuda Award, tahun ini nggak ada kerjaan untuk penjuri itu,” jelasnya.
Baca Juga: Dukungan RI Dipertanyakan: Perwakilan Tak Tampak di Tengah Duka PMI
Wahyu menambahkan bahwa Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) juga mengalami kriminalisasi ketika melakukan advokasi dan pembelaan terhadap korban perdagangan orang. Kasus kriminalisasi aktivis TPPO juga dialami oleh Romo Pascal yang hadir dalam diskusi tersebut.
Akademisi UNIKA Atmajaya, Indri Saptaningrum, menegaskan pentingnya peran masyarakat sipil dalam memberikan data empiris yang tidak dimiliki pemerintah. Kriminalisasi dan marginalisasi justru kontraproduktif terhadap upaya perlindungan pekerja migran secara komprehensif.
“Data-data yang teman-teman miliki ini adalah data-data yang tidak dimiliki oleh pemerintah. Ini adalah data dari lapangan,” kata Indri.
Indri menjelaskan bahwa salah satu kekuatan dari masyarakat sipil adalah memberikan wajah dan wajah itu masuk dalam cerita-cerita pengalaman empirik yang mungkin justru menjadi kelemahan dari pemerintah Indonesia. Model reporting pada treaty bodies memang punya kelemahan untuk menyajikan data-data yang cukup termutakhir.
Indri menekankan bahwa data dari lapangan yang dimiliki masyarakat sipil justru bisa menjadi balance information untuk melihat wajah lain dari pelaksanaan perlindungan pekerja migran. Laporan pemerintah cenderung hanya menampilkan yang baik-baik saja tanpa menunjukkan realitas masalah di lapangan.
Kondisi ini menunjukkan semakin sempitnya ruang partisipasi masyarakat sipil dalam isu perlindungan pekerja migran. Padahal, keterlibatan mereka sangat krusial untuk memastikan kebijakan yang diambil pemerintah benar-benar menyentuh persoalan riil yang dihadapi pekerja migran dan keluarganya.

