Anggaran Pelindungan PMI Cuma 13 Persen, 87 Persen Habis untuk Birokrasi

by Sintia Nur Afifah
0 comments
A+A-
Reset
Migrant Care: Lapar kerja Usai Pandemi di Manfaatkan Sindikat TPPO

VOICEINDONESIA.CO, Jakarta – Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia menargetkan peningkatan penempatan pekerja migran hingga 425.000 orang per tahun tanpa disertai jaminan keselamatan memadai. Target ambisius ini justru menuai kritik tajam dari pemerhati pekerja migran.

Direktur Eksekutif Migrant CARE, Wahyu Susilo menyoroti ketimpangan alokasi anggaran yang sangat mencolok. Komisi IX DPR RI telah menyetujui pagu anggaran 2026 untuk KP2MI sebesar Rp546 miliar pada tahun 2026.

Dari total anggaran tersebut, ironisnya hanya Rp69 miliar atau 13 persen yang dialokasikan untuk pelindungan dan pemberdayaan pekerja migran Indonesia. Sebanyak 87 persen anggaran justru habis untuk belanja pegawai, administrasi, dan operasional birokrasi.

Baca Juga: 87 Pekerja Migran NTT Tewas di Luar Negeri, Migrant CARE: Negara Gagal Lindungi Warganya

“Rasio anggaran tersebut menunjukkan dengan sangat jelas bahwa pelindungan pekerja migran Indonesia tidak pernah menjadi prioritas pemerintahan Prabowo Subianto,” kritik Wahyu dalam pers rilis yang diterima VOICEINDONESIA.CO, Rabu (22/10/2025).

Wahyu menambahkan bahwa ketimpangan ini menggambarkan watak negara yang menikmati keuntungan ekonomi dari kucuran keringat pekerja migran Indonesia, tetapi enggan membayar harga perlindungan untuk keselamatan mereka.

Baca Juga: Petugas Gagalkan 3 CPMI Ilegal Hendak ke Kamboja, Begini Kronologinya

Hingga kini, tidak ada satu pun haluan kebijakan perlindungan yang berbasis data risiko. Tidak ada audit negara tujuan dan tidak ada kerangka keselamatan bagi pekerja migran Indonesia yang komprehensif.

“Alih-alih memperkuat mandat perlindungan melalui tata kelola yang akuntabel, kementerian ini justru bekerja dalam logika penempatan tenaga kerja untuk mengejar target kucuran remitansi, bukan perlindungan martabat warga negara Indonesia,” ungkap Wahyu.

Target peningkatan penempatan pekerja migran Indonesia hingga 425.000 orang per tahun dinilai mencerminkan pendekatan migrasi yang eksploitatif. Pendekatan ini tanpa jaminan keselamatan, mengabaikan mekanisme pengawasan, pengendalian risiko negara tujuan, maupun skema perlindungan keluarga PMI.

Situasi semakin diperburuk dengan pergantian menteri melalui reshuffle. Posisi strategis yang menentukan nasib jutaan pekerja migran diisi oleh figur yang tidak memiliki rekam jejak, kapasitas, maupun komitmen terhadap agenda perlindungan pekerja migran dan pemberantasan TPPO.

Hal ini mempertegas bahwa pemerintah tidak menempatkan isu pekerja migran sebagai agenda kemanusiaan dan keadilan, tetapi hanya sebagai komoditas politik dan ekonomi semata. Kepemimpinan kementerian ini dulu maupun sekarang selalu mendiskriminasi perempuan pekerja rumah tangga yang bekerja di sektor domestik.

Mereka dilabeli sebagai pekerja yang tidak memiliki keahlian yang perlu ditekan angkanya. Padahal pekerja rumah tangga migran merupakan tulang punggung ekonomi keluarga di daerah asal.

“Negara hadir untuk mengirim pekerja migran, tetapi absen ketika pekerja migran dianiaya, ditipu, diperas, ditangkap, atau meninggal di luar negeri,” tandas Wahyu.

Reformasi kebijakan perlindungan pekerja migran dan pencegahan perdagangan orang juga mengalami kemacetan total. Dalam satu tahun terakhir, tidak ada kemajuan legislasi yang signifikan untuk memperkuat perlindungan pekerja migran Indonesia.

Revisi UU No. 21/2007 tentang TPPO yang sudah diwacanakan sejak 2023 oleh masyarakat sipil tak kunjung dibahas serius. Padahal undang-undang tersebut sekarang ini tidak mampu menjawab TPPO karena penyalahgunaan teknologi digital dan modus penipuan rekrutmen kerja lintas negara serta hak restitusi bagi korban.

Upaya pemberantasan perdagangan orang di Indonesia juga jalan di tempat secara kelembagaan. Gugus Tugas TPPO Nasional telah habis masa berlakunya karena Perpres yang menjadi dasar hukumnya tidak diperbarui, namun pemerintah tidak segera membentuk mekanisme baru yang kredibel dan efektif.

Kondisi ini menyebabkan kekosongan koordinasi kebijakan di tingkat nasional dan daerah. Padahal eskalasi kasus TPPO terutama berbasis rekrutmen digital dan scamming lintas negara terus meningkat tajam dalam beberapa bulan terakhir.

Editorial VOICEIndonesia

Tentang VOICEINDONESIA.CO

LOGO-VOICEINDONESIA.CO-Copy

VOICEIndonesia.co Merupakan Rumah untuk berkarya, Menyalurkan Bakat, Ide, Beradu Gagasan menyampaikan suara Rakyat dari pelosok Negeri dan Portal berita pertama di Indonesia yang secara khusus mengulas informasi seputar Ketenagakerjaan, Juga menyajikan berita-berita Nasional,Regional dan Global . VOICEIndonesia.co dedikasikan bukan hanya sekedar portal informasi berita online biasa,Namun lebih dari itu, menjadi media mainstream online pertama di Indonesia,menekankan akurasi berita yang tepat,cepat dan berimbang , cover both side, reading tourism, user friendly, serta riset.

KONTAK

HOTLINE / WHATSAPP :

Follow VOICEINDONESIA.CO