VOICEINDONESIA.CO, Batam – Anggota Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), Rizky Oktaviana menyatakan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) di sektor pekerja migran sudah menjadi kejahatan bisnis yang terorganisir dengan jaringan pelaku dari berbagai tingkatan.
Rizky mengkritisi perspektif beberapa lembaga dan pemerintah yang belum berpihak pada korban sehingga menghambat pemberantasan, pencegahan, dan penanganan kasus TPPO.
“Perdagangan manusia sudah menjadi kejahatan bisnis yang terorganisir. Jadi bukan hanya masalah individual tapi ada jaringan pelaku yang sangat rapi dari perekrutan hingga penempatan,” tegasnya, Kamis (27/11/2025).
Baca Juga: Dilema P3MI: Antara Tumpang Tindih Regulasi dan Bayang-Bayang Pidana
Ia mengungkapkan bahwa SBMI melakukan pencegahan melalui edukasi di desa-desa menggunakan testimoni korban yang kuat. Mereka juga mendampingi korban dalam proses hukum dan memberikan layanan konseling psikososial gratis melalui konselor terlatih bersertifikat.
Organisasi yang berprinsip keberpihakan pada korban ini mencatat ribuan WNI masih tidak berdokumen di Malaysia, banyak mengalami eksploitasi namun tidak berani mengadu karena takut deportasi.
Baca Juga: Ribuan Warga Jadi Korban, Indonesia Darurat TPPO!
Rizky menekankan pentingnya dukungan Stella Maris dalam penanganan kasus ABK dan meminta koordinasi lebih baik antara stakeholder termasuk aparat penegak hukum.
Sementara itu, Hengki Wijaya dari Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI) mengakui masalah perekrutan ilegal memang masih marak terjadi di lapangan.
“Segala cara dilakukan dalam perekrutan, ini bukan hal yang positif ya, bukan hal yang negatif. Tapi realitanya seperti itu,” ungkapnya.
Hengki menjelaskan perusahaannya melakukan rekrutmen transparan dengan sosialisasi ke sekolah-sekolah perikanan yang dihadiri pemerintah daerah sebagai pengawas.
“Disana kita bekerja sama dengan pihak sekolah, sosialisasi itu dihadiri oleh pemerintah, baik dinas tenaga kerja, perhubungan laut. Sehingga apa yang kita paparkan ada pengawas,” jelasnya.
Namun ia menyayangkan dukungan pemerintah belum optimal dalam memberikan akses informasi kepada masyarakat tentang cara kerja ke luar negeri yang aman dan legal.
“Harapannya pemerintah bisa mendukung sepenuhnya. Kenapa begitu? Saya dulu lulus SM tidak mungkin kuliah, saya bingung mau kerja apa, mau ke mana. Tidak ada yang memberikan informasi kepada saya bagaimana caranya kerja di luar negeri,” katanya.
Hengki yang mengaku pernah menjadi korban praktik penipuan dan pemalsuan dokumen saat bekerja di kapal luar negeri tahun 1999 kini berupaya membantu adik-adik mendapatkan informasi jelas agar tidak mengalami nasib serupa.

