Jakarta,akuupdate.com-Perdebatan gagasan, dan penolakan RUU HIP terus berlangsung. Presiden Joko Widodo merespon penolakan massa atas RUU HIP dengan mengambil sikap mengembalikan RUU HIP kepada DPR sebagai RUU Inisiatif DPR. Presiden belum menerbitkan Surpres untuk pembahasan RUU Inisiatif DPR. Jika Surpres tidak ada, maka DPR tidak dapat melanjutkan pembahasan RUU Inisiatif-nya sendiri. Di lain pihak, para pengusul sangat setuju perbaikan RUU HIP, bahkan siap berganti judul, meskipun berakibat banyaknya pada perubahan substansi.
Pancasila sudah Final, lantas apa berhenti di Final ?
Namun penyempurnaan RUU HIP, dan perubahan judul RUU-pun, tetap ditolak oleh meastream pikiran, bahwa RUU HIP TIDAK perlu diperbaiki, tetapi DIHENTIKAN. Alasannya Pancasila sudah final. Pertanyannya, jika sudah final, apakah berarti sudah selesai begitu saja? Tidakkah kita berpikir bagaimana melaksanakannya, agar Pancasila menjadi Jiwa dari tiap-tiap UU atau tiap kebijakan yang diproduksi negara, pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pengertian Pancasila sudah final, justru kita harus kreatif, responsive, inovatif, produktif dan solutif dalam mengatur, mengelola, mengurus dan melayani rakyat dalam konteks negara-bangsa berdasar Pancasila di tengah kehidupan global.
Karena itu, sudah semestinya substansi Pancasila menjadi JIWA atau Welstanchauung dari tiap-tiap hukum dan tindakan yang dilakukan penyelengara negara. Hukum dibentuk dan “dikonstruksikan” berdasar JIWA Pancasila, sehingga ideologi Pancasila itu akan membentuk hukum, dan hukum itu-pun “dibentuk” untuk melindungi ideologi Pancasila. Begitulah hubungan antara Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara dengan konstruksi hukum Indonesia dan; sebaliknya hubungan antara hukum Indonesia dengan ideologi Pancasila, adalah timbal-balik.
Jadi pikiran yang mengatakan, bahwa Pancasila sudah final, dan kemudian berarti sudah selesai hingga di situ saja (final), harus kita waspadai.
Sebab pikiran semacam ini, bisa jadi merupakan upaya menyingkirkan Pancasila secara halus atau merupakan bagian dari strategi membuat abrasi, erosi dan penenggelaman Pancasila secara perlahan namun pasti. Ketiadaan pembinaan Ideologi Pancasila dalam suatu regulasi, justru memudahkan pengembangan ideologi lain di luar Pancasila, baik ideologi komunisme maupun ideologi khilafah. Kelompok pendukung ideologi komunis ataupun kelompok pendukung konsepsi khilafah, sudah pasti menolak regulasi pembinaan ideologi Pancasila karena akan menghambat gerakan mereka.
Kemudian menjadi pertanyaan, bagaimana dan seperti apa Zat yang dinamakan Pancasila itu?; Apa saja unsur-unsur Zat yang terkandung di dalam Pancasila?. Bagimana epistemologis, ontologis dan aksiologis dari kandungan Zat dalam konstruksi dan substansi Pancasila? Penulis, tidak bermaksud mengurai kandungan Zat dan konstruksi Filsafat dalam Pancasila pada kesempatan ini, tetapi mengurai singkat proses kelahiran Pancasila.
Singkat Proses Kelahiran Pancasila;
Merujuk proses lahirnya Pancasila diawali dengan uraian Soekarno sebagai Anggota BPUPK tanggal 1 Juni 1945 pada Sidang Pleno Pertama BPUPK tanggal 29 Mei – 1 Juni 1945 dalam memberikan jawaban atas agenda Sidang Pleno Pertama BPUPK tersebut, yang disampaikan Ketua BPUPK dr. Radjiman Wediodiningrat, yaitu: “Apa dasar daripada negara Indonesia Merdeka yang akan kita dirikan itu?”, Uraian Soekarno itu, kemudian diterima secara aklamasi oleh Sidang Pleno tersebut sebagai Dasar Negara. Sidang Pleno tersebut kemudian membentuk Panitia 8 dengan Ketuanya Soekarno. Soekarno kemudian dalam masa reses BPUPK menyempurnakan Panitia 8 itu menjadi Panitia 9 yang tetap diketuai Soekarno, agar lebih representatif antara kelompok kebangsaan dan kelompok Islam. Tugas Panitia 9 di masa reses antara Sidang Pleno Pertama dengan Sidang Pleno Kedua BPUPK, adalah; menginventarisir masalah-masalah yang telah dibahas dalam Sidang Pleno Pertama. Dalam hal ini, ada 9 permasalahan untuk diputuskan dalam Sidang Pleno Kedua. Masalah yang crucial, adalah masalah kedua, yaitu; masalah Dasar Negara, khususnya tentang “Rumusan dan Sistematika” Pancasila. Penulis ulangi: tentang “Rumusan dan Sistematika” Pancasila. Artinya, bukan substansi yang terkandung dalam Pancasila, melainkan “Rumusan dan Sistematika” Pancasila.
Dalam perjalanannya, Panitia 9 pada tanggal 22 Juni 1945 menghasilkan “Rumusan dan Sistematika Pancasila” tersusun dalam Rancangan Pembukaan UUD negara kesatuan RI yang oleh Soekarno dinamakan Mukadimah, atau oleh Mohamad Yamin dinamakan Piagam Jakarta dan oleh Sukiman Wirjosandjojo dinamakan “Gentlement’s Agreement”. Pada Sidang Pleno Kedua BPUPK tanggal 10-17 Juli 1945, Panitia 9 yang diketuai Soekarno melaporkan hasil kerjanya kepada Sidang Pleno tersebut. Hasil kerja itu yang mendapat sorotan, terutama “Rumusan Sila Pertama”, yakni; “Ketuhanan Yang Maha Esa dengan Kewajiban Menjalankan Syari’at Islam bagi Pemeluk-Pemeluknya”; dan pada naskah batang tubuh UUD berlanjut pada Pasal 6 UUD 1945, yaitu: “Presiden ialah orang Indonesia Asli dan Beragama Islam” dan; Pasal 29 tentang Agama sebagaimana rumusan tentang Sila Kesatu Pancasila itu. Hal ini tentu mendapat tanggapan keras dari anggota BPUPK di luar Islam, seperti; J. Latuharhary dan AA Maramis. Namun dengan kepiawaiannya, Soekarno sebagai Ketua Panitia 9, membuat pada akhirnya, – Sidang Pleno Kedua BPUPK, dapat menerima hasil kerja Panitia 9. Hasil kerja panitia 9 inilah, yang kemudian dibawa ke dalam Sidang Pleno Pertama PPKI tanggal 18 Agustus 1945 dengan dua agenda, yaitu; Pertama, membahas dan menetapkan UUD negara kesatuan RI dan; Kedua, memilih dan menetapkan Presiden dan Wakil Presiden RI. Sekedar catatan, tanggal 18 Agustus berdasarkan Keppres No. 18 tahun 2008 ditetapkan sebagai Hari Konstitusi, sedangkan tanggal 1 Juni berdasarkan Keppres No. 24 tahun 2016 ditetapkan sebagai Hari Lahirnya Pancasila.
Sesudah Proklamasi 17 Agustus 1945, Mohamad Hatta didatangi seorang opsir Jepang Nishijima Asisten dari Laksamana Maeda, menyampaikan aspirasi bahwa orang-orang Katholik dan Protestan Indonesia bagian Timur keberatan dengan klausul Tujuh Kata dalam Sila Pertama dalam Rancangan Pembukaan UUD negara kesatuan RI, Pasal 6 dan Pasal 29. Jika klausul itu tidak dicoret dan tidak diubah, maka mereka lebih suka berada di luar RI. Sebab klausul itu dianggap diskriminatif. Mohamad Hatta kemudian, melobby beberapa tokoh Islam KH Wahid Hasyim (NU), KI Bagus Hadikusumo (Muhamadiyah) dan KH Agus Salim (Syarikat Islam). Intinya Bapak-Bapak tersebut, tidak keberatan dan setuju dengan pencoretan kalusula Tujuh Kata pada Sila Pertama, penyesuaian pada Pasal 6 dan Pasal 29 UUD 1945. Baru esoknya, sebelum Sidang Pleno Pertama PPKI tanggal 18 Agustus 1945 itu, Mohamad Hatta menyampaikan hal tersebut kepada Soekarno selaku Ketua PPKI, dan Soekarno memahami hal itu, lalu Soekarno meyampaikan kepada Peserta Sidang Pleno Pertama PPKI, dan kemudian Sidang Pleno Pertama PPKI yang diketuai dan dipimpin Soekarno dalam Agenda Pembahasan dan Penetapan UUD negara kesatuan RI, dapat menerima pencoretan kluasula tersebut, sehingga jadilah UUD 1945 yang asli itu.
Dengan demikian memahami Pancasila, hendaknya “ditelisik” dan dipahami dari teks final berupa “Rumusan dan Sistematika” Pancasila yang terdapat pada aline ke 4 Pembukaan UUD 1945, yang djiwai oleh proses pembahasan atas “Rumusan dan Sitematika Pancasila” pada tanggal 22 Juni 1945, yang bersumber dari Uraian Soekarno tentang Pancasila pada tanggal 1 Juni 1945 sebagai satu kesatuan historis dan dialektik yang tidak dapat dipisahkan. Jadi, memahami Pancasila adalah a-historis dan a-ideologis, tanpa memahami Uraian Soekarno tanggal 1 Juni 1945 yang disampaikan di hadapan Sidang Pleno Pertama BPUPK tanggal 29 Mei – 1 Juni 1945.
Pembinaan Ideologi Pancasila: Rediscovery of Our Starting-Point
Dengan pemahaman hakikat kelahiran Pancasila, pemahaman epistemologi Pancasila, pemahaman ontologi Pancasila dan aksiologi Pancasila, maka keseluruhannya itu merupakan suatu Rediscovery of Our Starting-Point bagi pembinaan idologi Pancasila yang harus dilakukan “generasi-antara” kepada “generasi_penerus”. Pemahaman bahwa Pancasila sudah Final, tidaklah berarti sudah selesai dalam arti final, seperti orang menonton sebuah pertandingan atau perhelatan, tentu saja tidak. Tetapi bagaimana tindak lanjutnya dalam mengawal ideologi Pancasila di dalam prakteknya.
Karena itu, diperlukan regulasi sebagai pedoman untuk memastikan jalannya “cetak-biru” atau “Blue-Print” Pembinaan Ideologi Pancasila dalam UU tentang Pembinaan Ideologi Pancasila. Strategi kelembagaan dalam pembinaan ideologi Pancasila, telah penulis sampaikan dalam tulisan tanggal 20 Juni 2020 di Indonesia Times, yakni; dengan melakukan amandemen UU No. 39 tahun 2008 tentang Kementerian Negara dan UU Otda terkait apa yang dimaksud dengan Urusan Pemerintah pusat dan implikasinya, selain 7 urusan itu, dengan menambah satu urusan pemerintah pusat, yakni; urusan Pembinaan ideologi Pancasila yang menghadirkan negara bersama dan di tengah masyarakat melakukan Pembinaan Ideologi Pancasila. Demikian “Sekali Lagi tentang Pembinaan Ideologi Pancasila sangat mendesak, jika kita ingin menyelamatkan bangsa dan negara kesatuan RI yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 berdasarkan Pancasila dan bertekad mewujudkan Visi Fundamental berdirinya RI dalam Pembukaan UUD 1945 sebagai negara-bangsa.
Oleh:
Ganjar Razuni
Associate Professor pada Program Studi Ilmu Politik
FISIP Universitas Nasional.