JAKARTA – Pemerintah jangan tidak tinggal diam membiarkan isu permintaan penghapusan utang triliunan rupiah TNI AL ke Pertamina bergulir karena bisa jadi preseden buruk baik bagi TNI AL maupun Pertamina.
Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro, menjelaskan jika dilihat berdasarkan regulasi maka yang digunakan TNI AL produknya tergolong non subsidi sehingga mekanisme bisnisnya berarti B to B atau kelembaga atau bisnis. Di sisi lain Pertamina adalah BUMN harus cari margin atau profit agak sulit mekanisme penghapusan utang ini diwujudkan.
“Pemerintah perlu cari solusi apakah direvisi aturannya teman-teman TNI berhak terima subsidi atau kompensasi mekanisme APBN, karena mekanisme penghapusan tidak cukup sehat dari aspek kesehatan perusahaan,” ujar Komaidi di Jakarta beberapa waktu lalu.
Menurutnya kalau memang mau dihapuskan maka harus ada arahan jelas dari negara, bukan berdasarkan kebijakan perusahaan. “Saya kira kalau minta penghapusan sulit lebih tepatnya tidak ke Pertamina tapi ke kementerian keuangan atau level tertinggi antar kementerian lembaga penyelesaiannya Pertamina pengapusan atau gimana atas perintah pihak tertentu,” ungkap Komaidi.
Jika seandainya bisa dilakukan banyak hal perlu dipertimbangkan aspek legal aturan main. Menurut Komaidi jika bisa secara legal, maka ada aspek lain juga apakah secara bisnis tidak cukup menganggu, yang lebih penting apakah tidak jadi preseden bisa ditiru pihak lain, karena piutang Pertamina tidak hanya di TNI ada lembaga kementerian lain, di pemda, institusi sesama BUMN juga ada.
“Khawatirnya akan di copy paste lembaga lain kalau dilakukan secara paralel Pertamina akan keberatan. kalau minta dihapuskan jumlahnya besar ini perlu di komunikasikan level pemerintah,” ungkap Komaidi.
Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana Muhammad Ali menyebut lembaganya memiliki tunggakan setidaknya Rp5,45 triliun kepada Pertamina. Dia mengusulkan kepada Komisi I DPR agar utang itu dihapuskan.
“Ini mengganggu sekali, mengganggu kegiatan operasional. Harapannya [utang] ini bisa ditiadakan—untuk masalah bahan bakar. Jadi terputus, diputihkan,” kata Ali dalam Rapat Dengar Pendapat di Gedung DPR, Jakarta, 28 April lalu.