Mengenang 2 Tahun Insiden Jatuhnya Pesawat Lion Air JT-610

by VOICEIndonesia.co
0 comment

Jakarta, akuupdate.com -29 Oktober 2018, dua tahun yang lalu masyarakat dikejutkan dengan kabar pesawat Lion Air PK-LQP dengan nomor penerbangan JT-610 rute Jakarta-Pangkal Pinang hilang kontak di perairan Karawang, Jawa Barat.

Pesawat yang diterbangkan pilot Bhavye Suneja dan kopilot Harvino dikabarkan hilang kontak pukul 06.33 WIB setelah 13 menit mengudara. Padahal, dijadwalkan pesawat tiba di bandara Depati Amir sekitar pukul 07.20 WIB.
Seluruh instansi terkait langsung menuju titik lokasi terakhir pesawat melakukan kontak dengan Air Traffic Control  (ATC) Bandara Soekarno-Hatta.

Selama beberapa jam pencarian, anggota Basarnas, TNI, Polri yang juga dibantu warga sekitar mulai menemukan puing-puing pesawat ditengah lautan. Tak hanya puing pesawat, satu per satu jenazah juga mulai ditemukan. Pesawat Lion Air dengan nomor penerbangan JT-610 dinyatakan jatuh.

Pesawat Komersial itu membawa total 189 orang, yang terdiri dari 179 penumpang dewasa, 1 penumpang anak, 2 bayi, 2 pilot, dan 5 kru. Semuanya dinyatakan meninggal dunia pada kecelakaan tersebut.

Seluruh puing dan jenazah dibawa ke posko di Karawang, lalu dipindah ke JICT Tanjung Priok. Sementara seluruh jasad korban diidentifikasi di RS Polri, setelah mengumpulkan data-data DNA dari keluarga korban.

Dalam pesawat itu terdapat juga 21 pegawai Kementrian Keuangan, pegawai Kementrian ESDM, hingga dua WNA yang masing-masing berasal dari Italia dan India.

Setelah sebulan lamanya, pada 23 November 2018, proses pencarian dan identifikasi jenazah korban Lion Air JT-610 resmi dihentikan. Total 125 kantong jenazah dibawa ke RS Polri dan seluruhnya telah diidentifikasi. Meski hingga proses pencarian dan identifikasi korban dihentikan, masih ada 64 korban yang belum ditemukan dan belum teridentifikasi.

Kapusdokkes Polri Brigjen Pol Arthur RS Polri Kramat Jati, Jakarta Timur mengungkapkan “Telah teridentifikasi 125 penumpang. Dengan rincian 89 orang berjenis kelamin pria, dan 26 orang berjenis kelamin wanita.” Jumat (23/11/18)

Selain korban, tim SAR gabungan juga fokus mencari kotak hitam (Black Box) Lion Air yang berisi data penerbangan pesawat dan percakapan kokpit.

Pencariannya pun tidaklah mudah. Tim mengalami kesulitan karena Emergency Locator Transmitter (ELT) yang secara otomatis dipancarkan black box tak terdeteksi. Sinyal itu tak terdengar baik dari Flight Data Recorder (FDR) maupun Cockpit Voice Recorder (VCR), keduanya komponen dalam kotak hitam/black box.

Selang 3 hari kemudian, Kamis (1/11/2018), tim penyelam Taifib Marinir TNI AL akhirnya berhasil menemukan satu bagian black box dikedalaman 30 meter, yakni bagian Flight Data Recorder (FDR).

Pencarian satu bagian lainnya yaitu Cockpit Voice Recorder (CVR) juga tidaklah mudah. Seorang TNI AL menemukan CVR dikedalaman 38 meter pada 14 Januari 2019. CVR ditemukan dalam kondisi utuh, yang lalu keduanya dibawa KNKT untuk diunduh dan diidentifikasi.

Sebelum pesawat jatuh, pesawat Lion Air PK-LQP rupanya telah bermasalah dalam beberapa penerbangan sebelumnya. Yakni penerbangan rute Denpasar-Jakarta pada Minggu (28/10/2018). Namun, pihak maskapai tetap mengoperasikan karena pesawat telah dilakukan pengecekan dan permasalahan telah dibenahi.

“Jadi sampai dengan posisi kemarin pesawat ini sebelum terbang dinyatakan layang terbang oleh engineer yang diberi wewenang untuk merilisi pesawat itu” ujar Presiden Direktur Lion Air Edward, beberapa jam setelah kejadian.
Tak hanya itu, Boeing 737 Max yang digunakan Lion Air merupakan pesawat baru. Bahkan KNKT mencatat pesawat itu baru memiliki 800 jam terbang. Pilot pesawat Kapten Bhavye Suneja asal New Delhi, India, juga memiliki 6000 jam terbang. Dan cuaca pada saat itu dilokasi juga terbilang cerah.

Setelah satu tahun lamanya, KNKT merilis hasil investigasi mereka terhadap jatuhnya Lion Air JT-610 pada jumat (25/10/2029). Setidaknya, ada sembilan faktor yang menyebabkan terjadinya kecelakaan, mulai dari desain pesawat, mekanik, dan kurangnya dokumentasi tentang sistem pesawat yang berpengaruh kepada pilot dalam mengambil keputusan.

Kepala Sub Komite Investigasi Keselamatan Penerbangan KNKT, Kapten Nurcahyo Utomo, menyampaikan terdapat kerusakan pada bagian Manuvering Characteristics Augmentation System (MCAS) pada pesawat.
Minimnya informasi yang seharusnya disampaikan Boeing ini membuat pilot kesulitan mengatasi kerusakan MCAS di dalam pesawat. Ini menyebabkan awak panik dan salah mengambil langkah.

“Pertama saat desain dan sertifikasi dibuat berbagai asumsi terkait reaksi pilot terhadap kerusakan MCAS, asumsi ini sudah dibuat berdasarkan ketentuan berlaku, namun demikian ada beberapa hal yang tidak sesuai jadi asumsi pilot akan bereaksi dengan memberikan trim yang cukup, tetapi ternyata itu tidak terjadi” kata Nurcahyo saat Konferensi Pers di kantor KNKT, Gambir, Jakarta, Jumat (25/10).

Hasil investigasi mengungkap pihak Boeing hanya mengandalkan satu sistem sensor MCAS pada pesawat. Apa bila sensor tersebut rusak, tidak ada sistem lain yang mem back-up.
Berikut 9 faktor yang diduga menjadi penyebab dalam jatuhnya lion air:

  1.  Asumsi terkait reaksi pilot yang dibuat pada saat proses desain dan sertifikasi pesawat Boeing 737-8 (MAX), meskipun sesuai dengan referensi yang ada ternyata tidak tepat.
  2. Mengacu asumsi yang telah dibuat atas reaksi pilot dan kurang lengkapnya kajian terkait efek-efek yang dapat terjadi di cockpit, sensor tunggal yang diandalkan untuk MCAS dianggap cukup dan memenuhi ketentuan sertifikasi.
  3. Desain MCAS yang mengandalkan satu sensor rentan terhadap kesalahan.
  4. Pilot mengalami kesulitan melakukan respon yang tepat terhadap pergerakan MCAS yang tidak seharusnya karena tidak ada petunjuk dalam buku panduan dan pelatihan.
  5. Indikator Angle Of Attack (AOA) Disagree tidak tersedia di pesawat Boeing 737-8 (MAX) PK-LQP, berakibat informasi ini tidak muncul pada saat penerbangan dengan penunjukan sudut AOA yang berbeda antara kiri dan kanan, sehingga perbedaan ini tidak dapat dicatatkan oleh pilot dan teknisi tidak dapat mengidentifikasi kerusakan AOA sensor.
  6. AOA sensor pengganti mengalami kesalahan kalibrasi yang tidak terdeteksi pada saat perbaikan sebelumnya.
  7. Investigasi tidak dapat menentukan pengujian AOA sensor setelah terpasang pada pesawat yang mengalami kecelakaan dilakukan dengan benar, sehingga kesalahan kalibrasi tidak terdeteksi.
  8. Informasi mengenai stick shaker dan penggunaan prosedur non-normal Runaway Stabilizer pada penerbangan sebelumnya tidak tercatat pada buku catatan penerbangan dan perawatan pesawat mengakibatkan baik pilot maupun teknisi tidak dapat mengambil tindakan yang tepat.
  9. Beberapa peringatan, berulangnya aktivasi MCAS dan padatnya komunikasi dengan ATC tidak terkelola dengan efektif. Hal ini diakibatkan oleh situasi-kondisi yang sulit dan kemampuan mengendalikan pesawat, pelaksanaan prosedur non-normal, dan komunikasi antar pilot, berdampak pada ketidakefektifan koordinasi antar pilot dan pengelolaan beban kerja. Kondisi ini telah teridentifikasi pada saat pelatihan dan muncul kembali pada penerbangan ini. (Reno)

Baca juga

Leave a Comment

About Voice Indonesia

VOICE Indonesia Merupakan Rumah untuk berkarya, Menyalurkan Bakat, Ide, Beradu Gagasan menyampaikan suara Rakyat dari pelosok Negeri dan Portal berita pertama di Indonesia yang secara khusus mengulas informasi seputar Ketenagakerjaan, Juga menyajikan berita-berita Nasional,Regional dan Global . VOICE Indonesia dedikasikan bukan hanya sekedar portal informasi berita online biasa,Namun lebih dari itu, menjadi media mainstream online pertama di Indonesia,menekankan akurasi berita yang tepat,cepat dan berimbang , cover both side, reading tourism, user friendly, serta riset.

Kontak Voice Indonesia

HOTLINE / WHATSAPP :

Follow Voice Indonesia

Unduh Aplikasi Voice Indonesia