VOICEIndonesia.co, Jakarta – Seorang Pekerja Migran Indonesia (PMI) di HongKong bernama Lina viral di media sosial karena dipulangkan oleh Miss Yuni.
Miss Yuni, seorang YouTuber yang kontennya berisi curhatan PMI ini adalah pemilik dari boarding house yang ditempati oleh Lina.
Diduga melanggar peraturan boarding house, Lina dipulangkan ke Indonesia oleh pemilik boarding house. Lina yang berasal dari Pontianak, Kalimantan Barat itu mengaku bahwa ia baru datang di Hong Kong selama 5 hari.
Dikutip VOICEIndonesia.co dari YouTube Faisal Soh, Rabu (10/07/2024), Lina mengatakan bahwa pada saat di boarding house belum mendapatkan penjelasan peraturan.
Baca Juga: Satgas P3GN Polri Ungkap Kasus Narkoba di Kepri
Lina juga menjelaskan bahwa sebelumnya ia sudah meminta izin kepada anak dari Miss Yuni, Thomas yang sekaligus menjadi agency.
“Tidak ada penjelasan apa-apa saat saya masuk ke boarding house,” jelas Lina.
Selain itu Lina mengatakan bahwa dirinya pulang jam sembilan lewat. Bukan jam setengah sebelas seperti yang disebutkan oleh pemilik boarding house.
“Tidak benar, kemungkinan kejadian yang pas marah itu 10.30 tapi saya pulangnya jam 09.13,” jawab Lina.
Kendati demikian, menurut Ratih dari Union of United Domestic Workers, apa yang dilakukan Miss Yuni sebagai pemilik boarding house adalah tidak benar.
“Segala peraturan tentang di boarding house seharusnya dibuat secara tertulis dan ditempel di boarding house. Sehingga penghuni boarding house tahu peraturan tinggal di boarding house termasuk jam berapa harus kembali ke boarding house,” jelas Ratih.
Baca Juga: 6 TKW Diintrogasi di Dubai, Diduga Korban Penempatan ILEGAL
“Pemutusan kontrak/ pemulangan PMI, hal ini jelas fatal. Pihak yang memiliki hak seperti ini adalah majikan bukan agen atau pihak luar. Tetapi PMI ini belum masuk bekerja ke rumah majikan kok diputus kontrak,” Jelas Ratih di Hong Kong saat dihubungi VOICEIndonesia.co, Selasa (09/07/2024).
Ratih juga mengatakan agar pihak Konsulat Jendral Republik Indonesia (KJRI) Hong Kong harus detail lagi dalam mendata.
“Soal boarding house dalam kode etik KJRI HongKong pekerja tidak diwajibkan tinggal di boarding. Seharusnya KJRI juga mendata secara detail agen mana saja yang bekerja sama dalam hal boarding. Karena banyak juga misal 4 agen dalam satu boarding house,” jelas Ratih.
Ratih juga meminta agar pemerintah memperhatikan soal transparasi biaya penempatan PMI.
“Karena Lina sudah membayar cash 24 juta. Namun sesampainya di Hong Kong tidak ada kejelasan majikan,” tambahnya.
Diketahui, Lina juga tidak didaftarkan ke BPJS Ketenagakerjaan oleh perusahaan penempatannya.
“Padahal BPJS Ketenagakerjaan syarat CPMI bekerja ke luar negeri. Jadi tim yang mendampingi PMI ini kesulitan untuk klaim gagal penempatan,” jelas Ratih.