VOICEINDONESIA.CO, Batam – Ratusan buruh yang tergabung dalam Koalisi Rakyat Batam menggelar aksi di depan kawasan galangan kapal PT ASL Shipyard, Batuaji, Rabu (22/10/2025). Mereka menuntut penghapusan sistem alih daya atau outsourcing yang dinilai membuat pekerja kehilangan kepastian kerja dan hak-hak normatif.
Suprapto, salah satu perwakilan buruh, mengatakan sistem kerja alih daya telah menciptakan ketidakadilan bagi ribuan pekerja.
“Outsourcing membuat posisi buruh lemah. Upah rendah, hak tak jelas, dan keselamatan kerja sering diabaikan,” ujarnya dalam orasi.
Baca Juga: Buruh Sebut Usulan Luhut Soal UMP 2026 Ngawur!
Para buruh menyebut perusahaan utama kerap melempar tanggung jawab ketika terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK). Kondisi ini membuat pekerja tidak mendapat pesangon dan tidak memiliki jaminan masa depan.
Selain itu, banyak pekerja outsourcing hanya menerima upah setara Upah Minimum Kota (UMK) tanpa tambahan tunjangan atau fasilitas lainnya. Mereka juga menilai sejumlah pekerjaan inti perusahaan masih dialihdayakan, padahal melanggar aturan.
Baca Juga: Tuntut Kenaikan Upah, Ribuan Buruh Bakal Gelar Aksi Serentak 30 Oktober
“Operator produksi dan teknisi seharusnya tidak boleh di-outsourcing-kan, tapi di Batam masih banyak perusahaan yang melakukan itu,” kata Yapet Ramon, Ketua Konsulat Cabang FSPMI Kota Batam.
Buruh juga memprotes lemahnya pengawasan terhadap keselamatan dan kesehatan kerja (K3). Banyak pekerja outsourcing tidak mendapatkan pelatihan maupun alat pelindung diri yang memadai.
“Kecelakaan di galangan kapal sering terjadi, tapi banyak pekerja tidak memiliki asuransi atau BPJS aktif. Perusahaan pun lepas tanggung jawab,” ujar Yapet.
Mereka menuding vendor penyedia tenaga kerja sering tidak menyetorkan iuran BPJS secara rutin. Akibatnya, pekerja kesulitan mengakses layanan kesehatan saat dibutuhkan.
“Pekerja bukan barang yang bisa dipindahkan sesuka hati. Setelah kontrak vendor habis, kami langsung diberhentikan tanpa pesangon,” kata salah satu peserta aksi.
Romi, pekerja las di salah satu perusahaan subcon, mengaku sudah lima tahun bekerja tanpa kepastian status.
“Kami bekerja di lingkungan berisiko tinggi, tapi alat keselamatan tidak lengkap. Kalau terjadi kecelakaan, tidak ada perlindungan apa pun,” katanya.
Sementara itu, Dedi, operator blasting, menuturkan iuran BPJS Kesehatan sering macet.
“Kami bekerja di bawah panas dan debu logam, tapi jaminan kesehatan sering tidak aktif. Kalau sakit, biaya harus ditanggung sendiri,” ujarnya.
Serikat pekerja mendesak pemerintah menindak perusahaan yang melanggar aturan ketenagakerjaan dan meninjau ulang sistem outsourcing yang dinilai telah merugikan buruh. Mereka menegaskan akan terus melakukan aksi hingga tuntutan dipenuhi.