VOICEINDONESIA.CO, Semarang — Ratusan buruh dari berbagai daerah di Jawa Tengah tetap berunjuk rasa di halaman Kantor Gubernur Jawa Tengah, Jalan Pahlawan, Kota Semarang, meski hujan deras mengguyur sejak siang, Rabu (22/10/2025). Mereka menuntut kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) Jateng tahun 2026 sebesar minimal 10,5 persen.
Sekjen Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Jawa Tengah sekaligus Koordinator Jaringan Aliansi Buruh Jateng (ABJaT), Aulia Hakim, menegaskan para buruh ingin pemerintah membuat terobosan sistem pengupahan agar tidak terus tertinggal dari provinsi lain di Pulau Jawa.
“Kami menyampaikan terkait konsep terobosan upah minimum provinsi, upah minimum kabupaten/kota, UMSK, dan UMSP. Kami ingin membuat terobosan agar upah Jawa Tengah ini bisa mengejar provinsi lain di Jawa, Pulau Jawa,” kata Aulia usai audiensi.
Baca Juga: Pemeriksaan Kaji Manfaatkan Cukai Rokok untuk Pesangon Buruh
Ia menyebut kesenjangan upah di Jawa Tengah semakin lebar dan perlu segera diperbaiki agar tidak menekan kesejahteraan pekerja.
“Konsep yang kami berikan adalah untuk memangkas disparitas upah yang ada di Jawa Tengah antara Banjarnegara dan Kota Semarang. Karena Banjarnegara itu sekarang Rp 2,1 juta dan Kota Semarang Rp 3,4 juta. Ini selisih Rp 1,2 juta,” lanjutnya.
Baca Juga: KSPSI : Luhut Gagal Paham Penegakan Keadilan untuk Buruh
Aulia menjelaskan, pada 2012 lalu selisih upah hanya sekitar Rp 200 ribu, namun kini jurangnya makin jauh. ABJaT mengaku sudah menyiapkan konsep perbaikan sistem pengupahan sejak Maret dan menyerahkannya kepada Pemprov Jateng sebagai bahan pertimbangan penetapan UMP dan UMK mendatang.
“Tuntutan kami, kami meminta kepada Bapak Gubernur agar bisa menaikkan UMP dan UMK minimal 10,5 persen dengan pertimbangan inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Ini yang menjadi terobosan,” ujarnya.
Selain soal kenaikan upah, Aulia juga menyoroti lambannya penerbitan Surat Keputusan Dewan Pengupahan Kabupaten Jepara. Ia meminta gubernur turun tangan agar bupati segera menandatangani SK tersebut.
“Kalau SK baru keluar November, tidak ada waktu lagi untuk kajian. Kami minta intervensi gubernur agar bupati segera menurunkannya,” tutur Aulia.
Ia juga menegaskan perluasan penerapan upah minimum sektoral kabupaten (UMSK) di seluruh wilayah Jawa Tengah sebagai hal yang wajib.
“Itu wajib kalau menurut kami, karena itu adalah amanat konstitusi lewat MK 168 Tahun 2023. Upah minimum sektoral justru kami berharap ini lebih luas di kabupaten/kota yang lain,” tegasnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Jateng, Ahmad Aziz, membenarkan bahwa perwakilan buruh telah menyampaikan sejumlah usulan, termasuk regulasi baru pasca-putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang masih dikaji Kementerian Ketenagakerjaan.
“Teman-teman memastikan bahwa regulasinya nanti sesuai dengan putusan MK bahwa penetapan upah minimum mendasarkan inflasi, pertumbuhan ekonomi, indeks tertentu, kebutuhan hidup layak, dan kemampuan perusahaan. Itu menjadi atensi dari teman-teman ABJaT,” tuturnya.
Ia menambahkan bahwa pemerintah juga telah menindaklanjuti masukan buruh soal penghapusan sistem outsourcing.
“Kedua terkait dengan perubahan undang-undang ketenagakerjaan agar sistem outsourcing itu dihapuskan. Ini sudah kita sampaikan dan di pusat juga,” lanjutnya.
Terkait tuntutan kenaikan UMP 10,5 persen, Aziz menyatakan belum dapat memastikan apakah permintaan itu bisa dipenuhi karena regulasi baru masih dibahas di tingkat nasional.
“Regulasi itu yang menetapkan pusat, kementerian. Kita lihat saja nanti,” katanya.
Menurutnya, Gubernur Jawa Tengah akan mengikuti kebijakan nasional, namun tetap berupaya menjaga keseimbangan antara kepentingan pekerja, pengusaha, dan pemerintah.
“Yang jelas bahwa Jawa Tengah ini menjadi atensi juga terkait dengan upah ini. Harapannya upah itu yang seimbang,” jelasnya.