VOICEINDONESIA.CO, Bekasi – Kantor Pemerintah Kota Bekasi di Jalan Jenderal Ahmad Yani dikepung ribuan buruh dari 31 federasi serikat pekerja pada Kamis (30/10/2025). Aliansi Buruh Bekasi Melawan (BBM) dan Aliansi Pekerja Rakyat (PERAK) menuntut kenaikan upah minimum hingga 15 persen untuk tahun 2026, memaksa birokrasi lokal memberikan respons cepat atas aspirasi yang selama ini diabaikan.
Aksi dimulai sejak pukul 10.00 WIB dengan long march dari berbagai titik kumpul yang telah dikoordinasikan sebelumnya. Massa bergerak terorganisir dengan didampingi enam mobil komando dari federasi-federasi besar, menciptakan tekanan psikologis kepada birokrasi lokal yang selama ini dinilai lamban merespons aspirasi buruh. Gelombang pekerja memadati kawasan strategis pusat kota, menunjukkan kekuatan konsolidasi yang tidak main-main.
Tekanan massa membuahkan hasil cepat. Sekitar pukul 11.30 WIB, Wali Kota Bekasi Tri Adhianto Tjahyono muncul langsung menerima delegasi buruh untuk audiensi. Pertemuan tersebut bukan hanya formalitas biasa, melainkan negosiasi keras di mana lima tuntutan utama disampaikan dengan tegas kepada pemerintah daerah.
Baca Juga: Ancam Mogok Nasional, Ini 4 Tuntutan Buruh di Bandung Barat
Tuntutan pertama dan paling krusial adalah kenaikan Upah Minimum Kota (UMK) dan Upah Minimum Sektoral Kota (UMSK) Bekasi sebesar 10,5 hingga 15 persen untuk tahun 2026. Angka ini jauh melampaui inflasi normal, mencerminkan keberanian buruh menantang kalkulasi ekonomi konvensional yang selama ini digunakan birokrasi sebagai alasan membatasi kenaikan upah.
Tuntutan kedua mendesak pemerintah kota segera membuka perundingan resmi mengenai penetapan upah tahun depan. Buruh menolak proses penetapan sepihak yang selama ini kerap terjadi tanpa melibatkan mereka sebagai pihak yang paling terdampak. Ketiga, mereka menuntut pembuatan Peraturan Wali Kota (Perwal) khusus mengatur pemagangan dan outsourcing yang selama ini menjadi celah eksploitasi tenaga kerja.
Baca Juga: Federasi Buruh Dinilai Berpeluang Jadi Oposisi Prabowo, Ini Sebabnya
Tuntutan keempat menyasar privilege aparatur negara dengan menuntut pemotongan tunjangan DPRD dan ASN untuk dialokasikan kepada kesejahteraan masyarakat dan buruh. Usulan radikal ini menunjukkan kesadaran politik buruh yang mulai mempertanyakan ketimpangan struktural dalam alokasi anggaran daerah. Terakhir, mereka meminta rekomendasi pencabutan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang dinilai melanggengkan prekaritas kerja.
Tri Adhianto merespons dengan turun langsung ke atas mobil komando di hadapan massa aksi. Langkah tidak biasa ini menunjukkan urgensi politik yang dirasakan kepala daerah menghadapi gelombang protes terorganisir. Ia menegaskan bahwa usulan kenaikan upah harus didukung data valid dengan indikator ekonomi yang jelas.
“Terkait dengan kenaikan upah 10 hingga 15 persen, tentu harus ditampilkan dalam data-data yang faktual, dengan indikator ekonomi yang jelas,” ujar Tri Adhianto di hadapan massa.
Wali kota tersebut juga mengungkapkan telah menginstruksikan Dewan Pengupahan Kota Bekasi untuk mempercepat proses pembahasan. Ia menyatakan bahwa pemerintah akan menggunakan pendekatan teknokratis dengan menggodok usulan berdasarkan indikator ekonomi mikro dan makro.
“Saya sudah meminta kepada Dewan Pengupahan Kota Bekasi untuk membuat jadwal rapat hingga akhir November agar proses pembahasan dan keputusan dapat dilakukan tepat waktu,” tambahnya.
Komitmen untuk menyelesaikan proses hingga akhir November menunjukkan bahwa tekanan massa berhasil mempercepat agenda birokrasi yang biasanya berjalan lambat. Aksi di Bekasi ini menjadi bagian dari gelombang nasional protes buruh menjelang penetapan upah minimum 2026.
Konsolidasi 31 federasi dalam dua aliansi besar menunjukkan kemampuan organisasional yang matang, mengubah fragmentasi gerakan menjadi front persatuan yang solid. Mobilisasi ini juga mencerminkan eskalasi taktik buruh dari sekadar dialog menjadi tekanan massa langsung kepada pengambil keputusan.
Kepemimpinan lokal kini berada dalam dilema: memenuhi tuntutan buruh yang agresif atau menghadapi risiko politik dari aksi-aksi lanjutan yang bisa mengganggu stabilitas ekonomi dan investasi daerah. Keputusan yang akan diambil Dewan Pengupahan dalam rapat-rapat November mendatang akan menjadi ujian seberapa responsif birokrasi lokal terhadap tekanan dari bawah.
Bagi buruh Bekasi, aksi hari ini bukan akhir perjuangan melainkan babak pembuka dari kampanye panjang menuntut keadilan struktural dalam sistem pengupahan dan hubungan kerja. Mereka menunjukkan bahwa kesejahteraan pekerja bukan lagi isu pinggiran yang bisa diabaikan, melainkan agenda politik utama yang harus dihadapi pemerintah daerah dengan serius.
