Edwin menambahkan, khusus bagi JC, Pasal 10A Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban mengatur mengenai penanganan khusus dan penghargaan atas kesaksian yang diberikan.
“Pembebasan bersyarat, remisi tambahan dan hak narapidana lain merupakan bentuk penghargaan bagi JC atas kesaksian yang mereka berikan,” jelas Edwin.
Namun, dalam praktiknya, lanjut Edwin, PP No. 99 Tahun 2012 menghambat implementasi pemenuhan hak narapidana seperti diatur dalam Pasal 10A UU Perlindungan Saksi dan Korban.
“Pada praktiknya, diketahui terjadi penyimpangan atau kolusi antara terpidana dengan oknum aparat untuk mendapatkan status JC agar narapidana bisa mendapatkan haknya. Anehnya lagi, bila pelaku tunggal, juga bisa diterbitkan status JC,” tukas Edwin seraya menambahkan, berdasarkan pengalaman LPSK, sebagian kepala lapas lebih merujuk PP ini dibandingkan Pasal 10A yang juga mengatur hak-hak narapidana bagi JC.
Masih menurut Edwin, saat ini Kementerian Hukum dan HAM juga tengah menyusun peraturan turunan dari Pasal 10A Undang-Undang No. 31 Tahun 2014. Dengan demikian, pencabutan PP No. 99 Tahun 2012 sejalan dengan penyusuan peraturan perundang-undangan yang sedang disusun Kemenkumham.