VOICEINDONESIA.CO, Jakarta– Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membuka alasan penggunaan pasal kerugian negara, bukan pasal suap, pada kasus dugaan korupsi kuota haji di Kementerian Agama (Kemenag) 2023-2024.
Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, mengatakan pihaknya menggunakan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor tentang kerugian negara untuk menguji siapa pelaku dalam perkara ini. Dia menegaskan bahwa dengan pasal ini, KPK juga bisa menguji sistem penyelenggaraan haji dengan mencari dugaan kerugian negara.
“Yang pertama adalah kami menguji siapa pelakunya yang memiliki mensrea atau niat jahat. Kemudian juga perbuatan-perbuatan melawan hukumnya seperti apa. Nah dalam hal ini kami menguji orangnya. Kemudian yang kedua, kami menguji sistemnya. Karena ada kerugian keuangan negara di situ,” kata Asep dalam keterangannya, Kamis (2/10/2025).
Baca Juga: KPK Tetapkan 5 Tersangka Kredit Fiktif BPR Jepara Artha Rp 263,6 Miliar
Asep menjelaskan bahwa dalam proses pembuktian kerugian negara, KPK bisa sekaligus menguji sistem keuangan haji. Lembaga antikorupsi itu bekerja sama dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk melihat bagaimana proses distribusi kuota haji.
“Kemudian seperti apa uang yang dari jamaah ini juga masuk ke BPKH, Badan Pengelola Keuangan Haji, seperti itu. Dan bagaimana pengelolaannya sehingga terjadi, tadi ada mark up, berarti ada yang tidak masuk dari sistem tersebut,” tuturnya.
Baca Juga: KPK Sebut Rangkap Jabatan Jadi Celah Korupsi
“Dari situ kami bisa melihat bahwa memang kalau ada uang yang kemudian lari atau kemudian mengalir ke pihak-pihak yang salah, atau pihak-pihak yang tidak sesuai dengan peruntukannya, maka dengan menggunakan pasal 2 ini, kami bisa melihat atau kami bisa mempelajari sistemnya,” tambahnya.
Asep mengakui bahwa jika menggunakan pasal suap, proses pembuktian memang dapat dilakukan dengan lebih mudah. Namun, pasal itu hanya dapat membuktikan pihak pemberi dan penerima dalam sebuah perkara. Sedangkan dengan penggunaan pasal kerugian negara, kesalahan pada sistem, serta pihak-pihak yang turut terlibat dalam pembagian kuota haji bermasalah, dapat turut diketahui dan dimintai pertanggungjawaban.
“Mungkin dipertanyakan juga, kenapa Pak enggak suap saja di perkara haji ini? Suap itu lebih mudah. Suap itu adalah adanya pertemuan keinginan atau meeting of mind, keinginan dari si pemberi suap dengan si penerima suap. Keinginannya kemudian diwujudkan dan ada pertukaran sejumlah uang atau benda atau apapun itu. Hasil kesepakatan dari pertemuan keinginan tersebut,” pungkasnya.
Kasus ini bermula dari mantan Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas melalui Kepmen Agama RI Nomor 130 Tahun 2024 tentang Kuota Haji Tambahan 2024, menyatakan bahwa sebanyak 20.000 kuota, dibagikan 10.000 untuk reguler dan 10.000 untuk khusus atau 50 persen untuk reguler dan 50 persen untuk khusus.
Padahal berdasarkan Pasal 64 ayat 2 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umroh, kuota tersebut, harusnya dibagikan 92 persen untuk kuota reguler dan 8 persen untuk kuota haji khusus. Dengan begitu, terjadi pergeseran kuota haji reguler ke haji khusus atas pembagian kuota tersebut.