Sayangnya, untuk menekan harga produk agar tetap kompetitif, para pemilik kapal memperkerjakan para tenaga kerja berupah rendah. Hal ini menempatkan para nelayan pada posisi rentan akan masalah keselamatan kerja saat bekerja di kapal-kapal tersebut. Inilah yang mendorong terjadinya kejahatan lintas batas negara, mengingat eksploitasi dan perampasan hak terhadap ABK migran kerap terjadi di laut lepas, ZEE dan di laut-laut perbatasan.
“Eksploitasi sumber daya laut yang berlebihan dan populasi ikan yang semakin berkurang mendorong masifnya penangkapan ikan di laut lepas, yang seringkali mengakibatkan biaya operasional yang lebih tinggi dan juga membuat ABK perikanan kita lebih rentan terhadap upah rendah, kondisi kerja dan kehidupan yang buruk di kapal dan juga pelanggaran berat, seperti kekerasan”. Kata Annisa Erou
“Fakta ini sejalan dengan banyaknya aduan yang diterima oleh SBMI hingga tahun 2021 lalu. Presiden Republik Indonesia memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan perlindungan hak asasi manusia setiap ABK perikanan kita melalui pemerintahannya, agar perbudakan modern tidak lagi senantiasa membayang-bayangi kita dari waktu ke waktu,” ujar Annisa Erou (*)