Jakarta – Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) mendukung langkah Polri RI yang telah menetapkan dua orang tersangka yang diduga sebagai perekrut 20 WNI ke Myanmar.
Penetapan itu didasarkan pada gelar perkara nomor LP/B/82/v/2023/SPKT Bareskrim Polri tentang dugaan TPPO, Selasa (9/05/2023).
Kedua pelaku dinilai perannya memenuhi unsur dugaan TPPO Pasal 4 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 dan/ atau Pasal 81 UU No 18/2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia.
Menanggapi hal ini, Ketua Umum SBMI, Hariyanto menegaskan bahwa penetapan kedua tersangka ini merupakan langkah awal bagi Polri untuk membongkar jaringan sindikat Tindak Pidana Perdagangan Orang ke Myanmar.
Hariyanto menegaskan masih ada beberapa pelaku yang hingga saat ini masih belum ditangkap, Polri harus segera mengembangkan penyidikan untuk menangkap pelaku lainnya baik di dalam negeri dan di luar negeri.
“Polri harus segera menangkap pelaku lainnya baik di dalam maupun di luar negeri yang terlibat dalam sindikat perdagangan orang ke Myanmar, agar proses membongkar sindikat TPPO ini tidak menjadi sia-sia,” kata Hariyanto.
Kemudian terhadap Undang-Undang yang dikenakan pada tersangka, SBMI menekankan agar kepolisian untuk memfokuskan adanya Tindak Pidana Perdagangan Orang dengan menerapkan UU No 21 tahun 2007 dan mengesampingkan pasal 81 UU No.18 tahun 2017 tentang PMI.
Hariyanto mengatakan, seharusnya dengan bukti-bukti yang kuat, Kepolisian cuku menetapkan tersangka dengan UU 21/2007 tentang TPPO.
Dalam catatan SBMI, penyandingan kedua UU tersebut kerap melemahkan proses penegakan hukum bagi pelaku Perdagangan Orang, sebab Aparat Penegak Hukum cenderung memilih membuktikan UU 18/2017 yang proses pembuktiannya jauh lebih mudah, hukuman lebih ringan sebab tidak ada ancaman hukuman minimal, dan ketiadaan kewajiban restitusi bagi pelaku.
“Bila Polri yakin bahwa yang ditangkap ialah ppelaku Perdagangan Orang, maka seharusnya cukup menjerat pelaku dengan UU 21/2007 tentang TPPO. Dengan disandingkannya dengan Pasal 81 UU 18/2017 tentang PPMI, maka membuka peluang pelaku lepas dari jeratan TPPO, sebab Aparat Penegak Hukum akan cenderung memilih Pasal 81 UU 18/2017 karena mudah proses pembuktiannya, kemudian pelaku berpeluang dihukum ringan dan korban terancam tidak mendapatkan restitusi atas kerugian yang telah dialami,” tegas Hariyanto.

