VOICEINDONESIA.CO, Jakarta – Badan Pusat Statistik (BPS) kembali mencatat deflasi pada Mei 2025 sebesar 0,37% secara bulanan (month to month/mtm), menjadi deflasi ketiga sepanjang tahun ini setelah Januari (-0,76%) dan Februari (-0,48%). Para ekonom menilai kondisi ini menjadi sinyal pelemahan ekonomi Indonesia yang tidak bisa diabaikan.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, menilai deflasi ini merupakan “lampu kuning” bagi pertumbuhan ekonomi nasional. Ia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi kuartal II-2025 akan kembali melambat dan tidak mencapai 5%.
“”Ini sudah lampu kuning, ada gejala pertumbuhan ekonomi melambat di kuartal II-2025,” kata Bhima, dilansir dari detikcom, Rabu (4/6/2025).
Menurut Bhima, deflasi ini bukanlah hasil dari keberhasilan pemerintah dalam mengendalikan inflasi, melainkan pertanda bahwa daya beli masyarakat sedang melemah.
“Ini bukan kesuksesan mengendalikan inflasi, tapi demand pull inflation-nya tidak bergerak naik. Artinya penduduk besar, tapi sebagian besar tahan belanja. Konsumsi rumah tangga yang lambat artinya ekonomi ke depan lebih menantang,” tegasnya.
Senada dengan Bhima, Senior Ekonom INDEF Tauhid Ahmad menyebut lemahnya penciptaan lapangan kerja sebagai penyebab utama perlambatan konsumsi masyarakat.
Ia mencatat bahwa angka pemutusan hubungan kerja (PHK) meningkat dalam beberapa waktu terakhir, memaksa masyarakat menahan konsumsi dan bergantung pada tabungan untuk bertahan hidup.
“Karena banyak yang PHK, banyak masyarakat menahan pembelian dan kalau kita lihat mereka menggunakan tabungan untuk survival. Jadi menjadikan cadangan untuk membeli, tapi tidak dibelanjakan banyak-banyak,” jelas Tauhid.
Data dari BPJS Ketenagakerjaan menunjukkan bahwa sepanjang 2024 terdapat 257.471 peserta yang keluar dari kepesertaan akibat PHK. Sementara itu, pada Januari hingga Maret 2025, tercatat 73.992 orang mengalami hal serupa.
Tauhid juga menyoroti penurunan kinerja beberapa sektor penting seperti akomodasi, makanan dan minuman, serta pariwisata. Ia menduga langkah efisiensi pemerintah berkontribusi terhadap minimnya perputaran ekonomi dari sektor swasta.
“Ini sebagai peringatan untuk pemerintah harus melakukan sesuatu. Penyebab utamanya kan beberapa sektor mengalami penurunan, akomodasi, makan minum, beberapa travel juga mengalami penurunan. Mungkin karena efisiensi (pemerintah) sehingga tidak ada income dari sektor swasta,” pungkasnya.