VOICEINDONESIA.CO, Jakarta – Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) menyatakan sistem peradilan pidana gagal melindungi pekerja migran dari praktik perdagangan orang yang terus berulang. Pernyataan itu disampaikan bertepatan dengan Hari Anti Perdagangan Orang Sedunia pada 30 Juli 2025.
SBMI menegaskan bahwa momen ini bukan sekadar seremoni tahunan, tetapi pengingat atas kegagalan negara menghentikan eksploitasi terhadap buruh migran.
“Setiap 30 Juli, dunia memperingati Hari Anti Perdagangan Orang Sedunia. Namun bagi Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), momen ini bukanlah seremoni simbolik, melainkan pengingat keras atas kegagalan negara dalam menghentikan praktik eksploitasi sistemik terhadap buruh migran Indonesia,” ujar Ketua Umum SBMI Hariyanto Suwarno dalam siaran pers yang diterima VOICEINDONESIA.CO di Jakarta pada Selasa (29/7/2025).
Baca Juga: 9 Hari Menuju Mogok Nasional: Buruh Transportasi Mendesak Menteri
SBMI mengungkapkan bahwa sepanjang tahun 2024, ada 251 pekerja migran Indonesia yang terindikasi menjadi korban perdagangan orang di berbagai sektor. Laporan 22 kasus sejak 2014 pun tak kunjung menunjukkan hasil.
Organisasi ini menyoroti sistem hukum yang justru memperparah penderitaan korban.
“Di tengah janji-janji pelindungan, sistem peradilan pidana justru menjadi ruang di mana korban kembali dilukai,” katanya.
Baca Juga: Pegiat Buruh Soroti Postingan KP2MI Soal Ekspor Jasa: Pekerja Migran Bukan Komoditas Perdagangan
SBMI juga menyinggung restitusi korban yang tak pernah dieksekusi, meski telah diputuskan pengadilan.
“Apa yang disampaikan negara adalah janji. Tapi yang dialami korban adalah pengkhianatan. Ketika laporan-laporan yang kami buat sejak lebih dari sepuluh tahun lalu tak kunjung selesai, ketika korban dihina di ruang sidang, dan restitusi tak pernah dibayar, itu bukan sekadar kelalaian. Itu adalah pengabaian yang sistemik,” tegasnya.
Mereka mengingatkan agar peringatan Hari Anti Perdagangan Orang tidak berhenti pada seremoni tahunan.
“Bagi SBMI, peringatan Hari Anti Perdagangan Orang tidak boleh menjadi panggung seremoni, tetapi menjadi momen untuk mempertanyakan ulang arah dan tanggung jawab negara,” pungkasnya.