KISAH PILU ATIMAH, seorang Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang terperangkap dalam horor eksploitasi, kekerasan, dan pelecehan seksual di Oman, adalah tamparan keras di wajah kita semua, sebuah bukti telanjang bahwa mekanisme perlindungan negara terhadap warganya telah gagal.
Atimah yang berangkat pada Maret 2025 dengan prosedur yang diragukan dimulai dari rayuan manis sponsor, pemalsuan hasil tes medis dari unfit menjadi fit yang melibatkan dugaan suap di rumah sakit, hingga serangkaian pemindahan antar agen adalah representasi sempurna dari Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
Kronologi ini secara terang-terangan menunjukkan modus operandi kejahatan yang terus berulang dan kini menjadi ‘bola salju’ krisis PMI Non Prosedural yang terus membesar, mengancam keselamatan jiwa, terutama kaum perempuan yang rentan dan gampang dirayu.
Di negara penempatan, Atimah dipaksa bekerja hingga 20 jam sehari, dipaksa makan sisa makanan dari tempat sampah, mengalami pendarahan hebat dan terkilir akibat kerja paksa, hingga puncaknya, mengalami dugaan pelecehan seksual oleh menantu majikan.
Penderitaan ini semakin diperparah dengan diagnosis medis Mioma Uteri (tumor jinak yang tumbuh dari otot atau jaringan ikat Rahim) berukuran 12 cm.
Tragisnya, bukannya mendapat pertolongan dan dipulangkan, ia justru ditahan di penampungan, tanpa obat, dan dimintai tebusan Rp60 juta agar bisa kembali ke Tanah Air. Negara wajib bertanya: Mengapa tragedi ini terus berulang?
Jika pemerintah Indonesia, khususnya di bawah Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (KemenP2MI), tidak segera mengambil langkah drastis dan tegas, maka kita secara implisit mengakui bahwa PMI hanyalah objek penempatan, alat penghasil devisa, bukan subjek perlindungan yang nyawanya harus diutamakan.
Sementara ribuan Atimah terjebak dalam kondisi kritis, KemenP2MI seolah lebih sibuk dengan agenda seremonial, penandatanganan MoU dengan kampus-kampus di dalam negeri, serta fokus pada perluasan penempatan ke negara-negara Eropa dan Timur Tengah.
Perlindungan adalah jiwa dari penempatan itu sendiri, dan fokus seharusnya diarahkan pada negosiasi substantif dengan negara-negara penempatan untuk menciptakan skema perlindungan yang ketat, menjamin hak-hak, gaji, jam kerja yang manusiawi, dan terutama, memastikan akses perlindungan hukum yang kuat bagi PMI di negara yang mempekerjakannya.
Akar masalah kerentanan PMI ini juga bersemayam di dalam negeri, khususnya pada praktik licik para pelaku penempatan. Pemerintah tidak bisa lagi menutup mata terhadap potensi kartel dalam industri ini, di mana satu entitas atau kelompok secara bersamaan diduga memiliki Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI), sarana kesehatan, Balai Latihan Kerja Luar Negeri (BLK-LN), dan Tempat Uji Kompetensi (TUK).
Praktik integrasi usaha terlarang ini adalah resep sempurna untuk kolusi, permainan curang, pemalsuan data medis, dan penipuan biaya, yang pada akhirnya memicu jalur Non Prosedural.
Oleh karena itu, pemerintah harus segera mengevaluasi total semua entitas ini dan melarang integrasi kepemilikan; seseorang yang memiliki P3MI harus dilarang memiliki BLK-LN atau TUK, dan demikian pula sebaliknya.
Langkah ini adalah kunci untuk meminimalisir potensi konflik kepentingan. Lebih dari itu, pemerintah wajib menggaji ulang tahapan proses penempatan yang terlalu panjang dan mahal, karena proses yang berbelit-belit hanya membebani PMI dengan biaya tinggi, membuka ruang bagi calo ilegal, dan memaksa calon PMI mengambil jalan pintas yang berbahaya.
Kisah Atimah, yang kini terdampar tanpa pengobatan dan nyawanya terancam oleh mioma yang membesar dan pendarahan hebat, adalah panggilan darurat yang tidak bisa ditunda.
Ini Adalah alarem yang mendesak bagi Presiden Republik Indonesia untuk turun tangan dan memerintahkan aksi penyelamatan darurat untuk segera memulangkan Atimah, menjamin biaya medis dan pemulangan sepenuhnya.
Selain itu, penindakan hukum tuntas harus dilakukan terhadap sponsor, agen, P3MI, dan pihak rumah sakit yang terlibat dalam proses keberangkatan ilegal Atimah, sebagai efek jera yang nyata terhadap pelaku TPPO.
PMI bukanlah objek devisa semata; mereka adalah warga negara yang berhak atas keselamatan dan perlindungan penuh dari negara. Jika tragedi Atimah dibiarkan berulang, maka negara ini telah gagal dalam melindungi anak bangsanya sendiri.

