VOICEINDONESIA.CO, Denpasar – Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dittipideksus) Bareskrim Polri menemukan bakteri berbahaya dalam pakaian bekas hasil impor ilegal jaringan Korea Selatan–Bali yang melibatkan dua tersangka berinisial ZT dan SB.
Temuan tersebut memperkuat dugaan bahwa praktik thrifting ilegal tidak hanya merugikan ekonomi nasional, tetapi juga membahayakan kesehatan masyarakat.
Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri Brigjen Pol. Ade Safri Simanjuntak mengatakan, bakteri tersebut terungkap berdasarkan hasil uji laboratorium terhadap sampel pakaian bekas yang disita penyidik.
“Hasil pemeriksaan laboratorium yang dilakukan oleh penyidik, dari sampel pakaian bekas yang diperiksa di Labkesda Provinsi Bali, ditemukan bakteri Bacillus sp,” kata Ade Safri saat pengungkapan kasus di Denpasar, Senin (15/12/2025).
Menurutnya, bakteri tersebut berpotensi menimbulkan gangguan kesehatan bagi masyarakat yang menggunakan pakaian bekas impor ilegal.
Baca Juga: Pengusaha Thrifting Ilegal di Baliknya Dijerat Kasus Pencucian UangÂ
Risiko ini menjadi salah satu alasan kuat larangan impor pakaian bekas diberlakukan di Indonesia.
Selain ancaman kesehatan, Ade Safri menegaskan bahwa praktik impor pakaian bekas ilegal juga berdampak serius terhadap perekonomian nasional, khususnya industri tekstil dan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di sektor fesyen.
“Praktik importasi ilegal pakaian bekas ini mengancam keberlangsungan industri tekstil dalam negeri dan UMKM produsen pakaian jadi di Indonesia,” ujarnya.
Sementara itu, Direktur Hukum dan Regulasi Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Muhammad Novian mengungkapkan, selama menjalankan bisnis ilegal tersebut, para tersangka menggunakan berbagai modus untuk menyamarkan identitas dan transaksi keuangan.
Baca Juga: Prabowo Sentil Pejabat Soal Kunjungan ke Lokasi Terdampak Sebagai “Wisata Bencana”
“Mereka menggunakan identitas sebagai pedagang pakaian, wirausaha swasta, bahkan profil mahasiswa untuk mengelabui petugas,” kata Novian.
PPATK mencatat, sejak 2021 hingga 2025, terdapat lebih dari 1.900 transaksi keuangan yang terhubung dengan Korea Selatan sebagai salah satu negara pemasok pakaian bekas.
Selain itu, aliran transaksi juga terdeteksi melibatkan sedikitnya enam negara lain yang diduga menjadi sumber barang bekas ilegal yang beredar di Indonesia.
Novian menambahkan, para pelaku diduga mencampur uang hasil kejahatan dengan bisnis legal, seperti usaha transportasi serta kegiatan ekspor-impor, untuk menyamarkan asal-usul dana.
“Modus ini menunjukkan indikasi kuat praktik trade-based money laundering, di mana transaksi direkayasa seolah-olah merupakan kegiatan ekspor-impor yang sah,” jelasnya.
Sebelumnya, Satgas Penegakan Hukum Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri mengungkap praktik impor ilegal pakaian bekas di sebuah gudang di kawasan Tabanan, Bali, dengan total nilai transaksi mencapai Rp669 miliar. Kasus tersebut juga dikaitkan dengan dugaan tindak pidana pencucian uang.

