GELOMBANG Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang melanda Indonesia, dengan 24 ribu pekerja terkena PHK pada periode 1 Januari hingga 23 April 2025, memunculkan kekhawatiran serius akan potensi peningkatan migrasi usia produktif ke luar negeri untuk mencari penghidupan yang lebih baik.
Fenomena ini, jika tidak diiringi dengan pengawasan ketat, berpotensi besar membuka celah bagi praktik penempatan Pekerja Migran Indonesia (PMI) non-prosedural dan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), terutama dengan negara tujuan Timur Tengah dan Asia Pasifik yang kerap menjadi sasaran empuk para sindikat.
Dalam konteks inilah, peran imigrasi menjadi sangat krusial sebagai garda terdepan dalam deteksi dini dan pencegahan, demi menyelamatkan calon PMI dari jerat para pelaku.
Imigrasi memiliki fungsi vital dalam melakukan penapisan (screening) terhadap setiap individu yang akan keluar dari wilayah Indonesia. Ini bukan sekadar formalitas, melainkan sebuah filter penting yang dapat mengidentifikasi indikasi awal dari penempatan PMI non-prosedural atau bahkan TPPO.
Petugas imigrasi, dengan pelatihan yang memadai dan pemahaman mendalam tentang modus operandi sindikat, dapat mengenali tanda-tanda mencurigakan seperti dokumen yang tidak lengkap atau palsu, tujuan keberangkatan yang tidak jelas, ketidaksesuaian informasi antara calon PMI dengan dokumen yang dimiliki, atau bahkan indikasi tekanan psikologis yang dialami calon PMI.
Lebih lanjut, imigrasi juga memiliki akses terhadap data dan informasi yang terintegrasi dengan berbagai lembaga terkait, seperti Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia (Kemnaker RI) dan Kementrian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (KemenP2MI)/Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI).
Pemanfaatan data ini secara optimal, misalnya melalui sistem peringatan dini (early warning system), dapat membantu imigrasi mengidentifikasi calon PMI yang berpotensi menjadi korban. Misalnya, data mengenai perusahaan penyalur yang bermasalah, individu yang pernah terlibat dalam kasus penempatan non-prosedural, atau negara tujuan yang memiliki risiko tinggi, dapat menjadi dasar bagi petugas imigrasi untuk melakukan wawancara mendalam atau bahkan menunda keberangkatan.
Kolaborasi antara imigrasi dengan lembaga penegak hukum lainnya, seperti Kepolisian, juga menjadi kunci. Informasi yang berhasil didapatkan oleh imigrasi di lapangan dapat menjadi dasar bagi penyelidikan lebih lanjut untuk membongkar jaringan sindikat.
Pertukaran informasi yang cepat dan efektif antarinstansi akan mempersempit ruang gerak para pelaku dan memberikan perlindungan yang lebih komprehensif bagi calon PMI.
Namun, efektivitas peran imigrasi tidak hanya bergantung pada kapasitas dan kewenangannya semata. Dibutuhkan pula peningkatan kapasitas dan integritas petugas imigrasi, serta alokasi sumber daya yang memadai untuk mendukung tugas-tugas deteksi dini ini.
Pelatihan berkelanjutan mengenai modus baru kejahatan, peningkatan sensitivitas terhadap korban, dan penggunaan teknologi terkini dalam verifikasi dokumen adalah investasi yang harus terus dilakukan.
Dalam situasi di mana ancaman PHK meningkatkan potensi migrasi ilegal, peran imigrasi menjadi lebih penting dari sebelumnya. Imigrasi bukan hanya penjaga pintu gerbang negara, tetapi juga penjaga harapan bagi ribuan calon PMI yang berjuang mencari kehidupan lebih baik.
Dengan deteksi dini yang kuat dan kerja sama yang erat antarlembaga, kita dapat secara signifikan mengurangi jumlah korban penempatan PMI non-prosedural dan TPPO, serta memastikan bahwa migrasi yang terjadi adalah migrasi yang aman, bermartabat, dan prosedural.