VOICEINDONESIA.CO, Jakarta — Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES), Suroto mengkritik keras kesepakatan tarif resiprokal antara Indonesia dan Amerika Serikat yang dinilai merugikan kepentingan ekonomi nasional. Kesepakatan tersebut menetapkan tarif nol persen bagi produk Amerika yang masuk ke Indonesia, sementara produk ekspor Indonesia ke AS dikenai tarif hingga 19 persen.
Dalam pernyataannya yang diterima di Jakarta pada Minggu (27/7/2025), Suroto menyebut bahwa ketimpangan ini mencerminkan lemahnya posisi tawar Indonesia dalam melindungi sektor strategis nasional.
“Alih-alih mencerminkan hubungan dagang yang setara, kesepakatan ini adalah bentuk kegagalan diplomasi dagang yang mencolok,” ujarnya.
Salah satu contoh yang disoroti adalah sektor energi, khususnya impor LPG (Liquefied Petroleum Gas). Sebelumnya dikenai tarif 4,61 persen, kini produk LPG dari AS dibebaskan dari bea masuk. Indonesia bahkan berkomitmen menaikkan porsi suplai LPG dari AS dari 54 persen menjadi 85 persen.
“Ini berarti bukan hanya negara kehilangan pendapatan dari bea masuk, tapi juga menambah ketergantungan struktural terhadap pasokan energi dari luar negeri,” tegas Suroto.
Situasi serupa terjadi pada sektor pangan, terutama kedelai, di mana sekitar 83 persen kebutuhan nasional diimpor dari AS. Menurut Suroto, dominasi produk impor Amerika justru menyingkirkan kemampuan produksi petani lokal dan melemahkan kedaulatan pangan nasional.
“Energi dan pangan bukan sekadar komoditas ekonomi. Ini soal hajat hidup rakyat. Pemerintah seharusnya menggunakan tarif perdagangan sebagai alat perlindungan, bukan malah menyerah pada tekanan pasar global,” tambahnya.
Suroto juga menekankan bahwa jika tarif nol persen ingin diterapkan, seharusnya itu dilakukan pada barang modal dan teknologi yang menunjang penguatan sektor strategis domestik, seperti mesin pertanian dan alat energi terbarukan.
Ia mendorong pemerintah untuk lebih selektif dan berpihak pada rakyat dalam menentukan kebijakan perdagangan.
“Ukuran kedaulatan ekonomi suatu bangsa adalah kemampuannya mencapai surplus di sektor pangan dan energi. Kebijakan ini jelas menjauhkan kita dari tujuan itu,” pungkasnya.