VOICEINDONESIA.CO, Jakarta – Sebanyak 58 Calon/Awak Kapal Perikanan (C/AKP) migran yang diduga jadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) harus gigit jari usai Pengadilan Negeri (PN) Pemalang membebaskan terdakwa Andri Wijanarko, Direktur PT Klasik Jaya Samudera. Pembebasan tersebut tertuang dalam sidang putusan perkara nomor 71/Pid.Sus/2025/PN Pml pada Kamis (21/8/2025).
Majelis Hakim yang dipimpin Hasrawati Yunus menyatakan unsur eksploitasi tidak terbukti, pemalsuan dokumen lemah, dan proses pemberangkatan korban tidak melanggar aturan.
Putusan itu sekaligus memulihkan seluruh hak terdakwa. Kepala bidang Buruh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang, Safali menilai keputusan hakim mengubur hak asasi korban.
Baca Juga: Tujuh Anggota Brimob Yang Lindas Ojol Dipatsus 20 Hari
“Putusan Majelis Hakim menunjukkan kualitas jaksa penuntut umum (JPU) dan majelis yang belum memiliki perspektif korban untuk memberi rasa keadilan bagi buruh C/AKP migran. Persidangan justru membenarkan tindakan pelaku serta membebaskan terdakwa. Proses ini buruk dan melanggengkan praktik kejahatan TPPO,” tegasnya.
Kritik juga datang dari Ketua Umum Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), Hariyanto Suwarno. Ia menyatakan penegakan hukum dalam kasus tersebut harus berbasis HAM.
“Penegakan hukum semata tidak cukup jika tidak dibarengi dengan campur tangan pemerintah. Negara harus melakukan reformasi sistem peradilan pidana agar berpihak kepada korban. Pendekatan berbasis HAM harus menjadi kerangka utama, bukan sekadar jargon,” ujarnya.
Dalam amar putusan, majelis hakim menyatakan:
1. Unsur eksploitasi tidak terbukti sesuai UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO dan UU No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia.
2. Tidak ada pelanggaran dalam proses pemberangkatan korban.
3. Unsur pemalsuan dokumen tidak terbukti karena bukti dianggap lemah.
4. Terdakwa dibebaskan dan hak-haknya dipulihkan.
Namun, LBH Semarang dan SBMI menilai hakim menutup mata terhadap fakta persidangan, termasuk keterangan saksi korban, kondisi penahanan korban di mess, pungutan biaya besar, hingga dugaan penggunaan ijazah palsu.
Baca Juga: Agar Tak Jadi Korban TPPO, Pemerintah Imbau PMI Ikuti Prosedur Resmi
Mereka juga menyoroti adanya victim blaming dari hakim dan penolakan terhadap keterangan ahli serta fakta obstruction of justice berupa pemberian uang dan surat pernyataan tidak menuntut.
Atas putusan ini, LBH Semarang dan SBMI mendesak reformasi menyeluruh dalam penanganan perkara TPPO.
Mereka juga mendukung upaya hukum kasasi oleh JPU untuk memastikan pemulihan hak 58 korban C/AKP migran.
Pendamping para korban juga menuntut adanya reformasi menyeluruh penegakan hukum peradilan dalam menangani perkara tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Mereka mendukung penuh upaya hukum lanjutan (KASASI) dari Jaksa Penuntut Umum untuk memastikan hak-hak 58 para korban C/AKP Migran yang terdampak langsung dapat dipulihkan.
Selain itu, mereka juga menuntut negara harus hadir dan memberikan pelindungan secara menyeluruh untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak AKP Migran, baik sebelum berangkat, pada saat bekerja dan pekerja yang telah finish kontrak.