VOICEINDONESIA.CO, Jakarta – Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyoroti maraknya praktik mobilisasi anak dalam aksi unjuk rasa yang berujung kerusuhan di Jakarta, Surabaya, Kediri, Pekalongan, dan Tegal.
Keterlibatan anak dalam aksi anarkis, penjarahan, hingga penggunaan petasan dan bom molotov dinilai sebagai bentuk eksploitasi yang bertentangan dengan hak anak.
Komisioner KPAI, Sylvana Maria Apituley, menegaskan bahwa meskipun undang-undang menjamin kebebasan anak untuk berpendapat, berkumpul, dan berserikat, perlindungan tersebut harus sesuai dengan usia, kesiapan mental, dan keselamatan anak.
Baca Juga: Prabowo Temui Putin di Beijing, Bahas Kerja Sama Teknologi dan Pertahanan
“Ini bukan partisipasi, melainkan eksploitasi,” ujarnya kepada wartawan, Rabu (3/9/2025).
KPAI meminta Polri bersikap profesional, persuasif, dan humanis dalam menangani anak-anak yang terlibat, serta menegakkan ketentuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Proses pemeriksaan wajib dilakukan maksimal 24 jam dan anak harus ditempatkan terpisah dari tahanan dewasa.
Baca Juga: Tunjangan Profesi Guru di Kemenag Naik Jadi Rp2 Juta Tahun Ini
Selain itu, KPAI mendesak aparat segera mengusut provokator yang memobilisasi anak-anak.
“Penegakan hukum harus dilakukan secara transparan, adil, dan tuntas,” tegas Sylvana.
Di sisi lain, KPAI mengapresiasi sikap sejumlah orang tua yang secara sukarela mengembalikan barang hasil penjarahan anak mereka.
Menurut Sylvana, langkah itu menjadi teladan penting dalam menanamkan nilai kejujuran dan tanggung jawab.