VOICEINDONESIA.CO, Jakarta – Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polkam) bersama Kementerian Luar Negeri dan Komite Internasional Palang Merah (ICRC) menggelar lokakarya nasional membahas posisi negara netral dalam konflik bersenjata di laut.
Lokakarya bertema “Negara Netral berdasarkan Konvensi Jenewa 1949 dan Instrumen Lainnya: Pertimbangan Hukum, Praktis, dan Kemanusiaan dalam Konflik Bersenjata di Laut” itu berlangsung di Jakarta, Selasa (14/10/2025).
Deputi Bidang Koordinasi Politik Luar Negeri Kemenko Polkam, Duta Besar Mohammad K. Koba, menegaskan bahwa isu netralitas negara dalam konflik laut memiliki urgensi tinggi di tengah meningkatnya dinamika keamanan maritim global.
Baca Juga: Usai Dilantik Jadi Menko Polkam, Djamari: Gak Ada Istilah Istirahat
“Kita berada di era ketika tatanan keamanan maritim menghadapi perubahan sangat dinamis. Konflik di laut semakin mungkin terjadi dan berisiko besar terhadap keselamatan manusia serta lingkungan laut,” ujar Koba.
Ia menjelaskan bahwa kemajuan teknologi seperti sistem tanpa awak dan persenjataan hipersonik telah mengubah wajah peperangan modern. Kondisi itu menuntut pembaruan cara pandang terhadap penerapan Hukum Humaniter Internasional (HHI) dan Hukum Perang Laut.
Baca Juga: Pengganti Menko Polkam dan Menpora Belum Dilantik, Ini Penjelasan Istana
Menurut Koba, peninjauan ulang terhadap kewajiban hukum internasional menjadi sangat mendesak, terutama untuk mitigasi dampak kemanusiaan dari konflik di laut.
“Umumnya HHI dikaji dari sudut pandang negara pihak berkonflik. Kita perlu mengisi celah ini dengan pendekatan yang lebih jelas dan kontekstual,” katanya.
Ia juga menyoroti pentingnya perspektif negara netral agar konsekuensi hukum dan praktis bagi negara yang tidak terlibat langsung dalam konflik bisa dipahami dengan lebih baik.
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia disebut memiliki kepentingan strategis untuk memastikan bahwa prinsip netralitas tetap dijaga dalam dinamika keamanan kawasan maritim.