Baca Juga: Imigrasi Bali Ciduk Dua WNA asal Rusia
“Secara logika, produsen perlu nilai tambah untuk konsumen tersebut. UU ini memiliki cita-cita mulianya yaitu memberi kemanan, kenyamanan, keselamatan, dan kepastian produk halal bagi masyarakat,” tuturnya.
Dilansir dari ANTARA, Dzikro juga menjelaskan, aturan wajib halal tersebut juga merupakan upaya pemerintah dalam melindungi konsumen dan produsen di Indonesia.
Awalnya, jelas dia, sertifikasi halal bersifat sukarela atau voluntary dari para produsen untuk menyematkan label halal sebagai nilai tambah pada produknya, melalui lembaga milik Majelis Ulama Indonesia (MUI).
“Semenjak diresmikannya UU No. 33 Tahun 2014 maka sifatnya berubah menjadi wajib atau mandatory, karena Pasal 4 UU tersebut mewajibkan semua produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di Indonesia wajib bersertifikat halal. Maka ini menjadi produk hukum,” ujarnya.
Baca Juga: Ketua GP Ansor Dorong Pancasila Sebagai Pandangan Baru
Dzikro memaparkan, terdapat dua hal yang diatur wajib halal, yakni barang dan jasa. Pada barang, beberapa hal yang diatur seperti makanan, bahan baku/tambahan makanan, obat, kosmetik, dan barang konsumsi lainnya. Adapun pada jasa, hal yang diatur wajib halal yakni berupa jasa penyembelihan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian barang konsumsi.