VOICEIndonesia.co, Jakarta – Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) gelar Konferensi Pers Jaringan Solidaritas Korban Jerat Kerja Paksa dan Perbudakan Siber Asia Tenggara di Jakarta, Rabu (21/08/2024).
Arif Maulana, Wakil Bidang Advokasi dan Jaringan YLBHI mengungkapkan bahwa pemerintah Indonesia belum berhasil atau gagal dalam melindungi warganya yang menjadi korban jerat kerja paksa.
“Korban ini bukan satu dua tiga, tapi ini sudah sistematis dan meluas yang hadir saja dari Jawa Tengah, Jawa Barat, Semarang ada yang dari Bekasi, Bandung dan wilayah yang lain,” jelas Arif.
Menurut Arif Maulana, persoalan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) menjadi persoalan yang serius.
“Bahkan Komnas Ham menyatakan bahwa ini menjadi prioritas penanganan mereka,” kata Arif Maulana saat konferensi Pers.
Baca Juga: Tangerang Digital Fest Buka Ribuan Lowongan Pekerjaan
Namun menurut Arif Maulana, pemerintah baik presiden Jokowi dan DPR justru memprioritaskan pada proyek strategis Ibu Kota Nusantara (IKN).
“Justru yang jadi prioritas adalah IKN. Bagaimana membangun proyek strategis nasional yang itu menggusur ruang kehidupan warga. Merebut lahan-lahan warga dan sawah-sawah warga, kebun-kebun warga untuk proyek strategis warga yang pada akhirnya mereka kesulitan mencari penghasilan, menghidupi keluarganya dan terjebak pada skema-skema kerja-kerja migran,” Jelas Arif.
Wakil Bidang Advokasi dan Jaringan YLBHI menututkan bahwa mereka harus bermigrasi dalam konteks terpaksa karena tidak ada pilihan.
Dalam konteks TPPO, Arif menjelaskan TPPO bukan lagi kejahatan biasa tapi terorganisir bahkan lintas batas negara dan kejahatan kemanusiaan yang mmerupakan kejahatan Hak Asasi Manusia.
“Ini bagian dari skema perbudakan modern. Dan perampasan kemerdekaan seseorang. Baik fisik maupun mental untuk kemudian diperbudak dengan cara-cara yang tidak manusiawi,” kata Arif.
Baca Juga: TKW asal Serang Banten Diduga Jadi Korban TPPO di Riyadh
Arif melanjutkan bahwa pemenuhan HAM adalah tanggung jawab negara terkhusus pemerintah dalam menangani hal tersebut.
“Dalam konteks isu migrasi dan kejahatan litas batas negara Kementerian Luar Negeri memiliki peranan yang sangat vital dan oleh karena itu dalam kesempatan yang berharga ini kami pendaping bersama keluarga korban mendesak kepada negara republik Indonesia. Khususnya presiden dan kementerian luar negeri, DPR RI untuk serius dan mengupayakan secara maksimal langkah terbaik, memastikan warga negara Indonesia yang hari ini berada di luar negeri. Berada di negara asia tenggara atau negara lain khususnya keluarga korban yang jelas mereka ada di Myanmar, Filipina dan Kamboja. Mereka minta dipulangkan sesegera mungkin,” kata Arif.
Arif juga meminta agar pemerintah tidak terus berdalih dengan mengatakan hal tersebut adalah wilayah konflik dan wilayah perang.
“Jangan sampai ada dalih itu di wilayah konflik dan di wilayah perang,” lanjutnya.
Diketahui, hingga kini warga negara Indonesia (WNI) yang menjadi korban TPPO masih ada yang terperangkap di beberapa negara seperti Myanmar, Filipina dan Thailand.
Namun hingga kini, para korban belum juga bisa dipulangkan karena beberapa dari mereka ada yang dimintai uang tebusan.
“Para mafia memberikan syarat pembebasan terhadap keluara kami, dengan meminta uang tebusan sangat besar. Pada Maret 2024, di bawah todongan senjata di kepala mereka, keluarga kamu memohon dengan putus asa agar kami membayar tebusan hingga 10.000 dollar Amerika. Kami jelas tidak mampu membayar jumlah tebusan itu,” ungkap salah satu keluarga korban TPPO di Myanmar.