PASPOR Republik Indonesia bukan sekadar buku kecil berwarna hijau toska. Ia adalah manifestasi kedaulatan negara, dokumen jati diri yang diakui secara global, dan kunci bagi setiap warga negara untuk melintasi batas-batas dunia.
Proses penerbitannya, yang seharusnya berjalan di atas rel integritas dan kepastian hukum, merupakan garda terdepan dalam menjaga keamanan dan ketertiban administrasi kenegaraan. Namun, bagaimana jika benteng pertahanan ini justru digerogoti dari dalam oleh oknum yang seharusnya menjadi penjaganya?
Proses mendapatkan paspor bagi Warga Negara Indonesia (WNI) pada dasarnya telah diatur secara jelas dan sistematis. Negara tidak mempersulit, namun menuntut ketelitian untuk memastikan bahwa dokumen tersebut jatuh ke tangan yang berhak.
Syarat dan Dasar Hukum yang Jelas
Dasar hukum utama penerbitan paspor adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian. Diperkuat oleh Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri Hukum dan HAM, alur dan syaratnya sudah baku. Calon pemohon diwajibkan untuk membuktikan dua hal esensial: status kewarganegaraan dan keabsahan data diri. Untuk itu, pemohon harus melampirkan dokumen-dokumen otentik seperti:
- Kartu Tanda Penduduk Elektronik (KTP-el) yang masih berlaku.
- Kartu Keluarga (KK).
- Salah satu dari dokumen berikut yang memuat nama, tanggal lahir, dan nama orang tua: Akta Kelahiran, Ijazah (SD/SMP/SMA), atau Buku Nikah.
Seluruh dokumen ini wajib asli dan akan diverifikasi secara teliti oleh petugas imigrasi melalui proses wawancara dan pengambilan data biometrik (sidik jari dan foto wajah). Tujuannya mulia: memastikan satu identitas untuk satu paspor, mencegah pemalsuan, dan melindungi warga negara dari penyalahgunaan identitas.
Dugaan Praktek Rente Dari Oknum Imigrasi
Ironisnya, ancaman terbesar terhadap sistem yang telah dibangun ini justru berpotensi bisa datang dari internal, yakni oknum petugas imigrasi yang menyalahgunakan wewenangnya. Melalui dugaan praktek rente dengan memasang tarif diluar aturan yang sudah ditetapkan. Â Bayangkan Ketika ada sebuah skenario di mana seorang oknum, dengan imbalan tertentu, dengan modus melakukan manipulasi secara sengaja mengubah atau memanipulasi data jati diri calon pemohon. Misalnya, mengubah tahun lahir, mengganti foto, atau bahkan menciptakan identitas fiktif.
Tindakan ini bukan sekadar pelanggaran administratif, melainkan sebuah kejahatan serius yang meruntuhkan pilar keamanan negara. Paspor yang diterbitkan dari data yang dimanipulasi dapat menjadi alat bagi pelaku kejahatan untuk melarikan diri, menjadi pintu masuk bagi tindak pidana terorisme, atau memfasilitasi kejahatan transnasional terorganisasi seperti Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap sumpah jabatan dan amanah yang diberikan oleh negara.
Tindakan Tegas Direktorat Jenderal Imigrasi
Tugas dan tangtangan berat dari internal imigrasi menjadi pekerjaan rumah yang harus segera dituntaskan dirjen imigrasi. Menghadapi kemungkinan ini, sikap direktorat jenderal (Ditjen) Imigrasi tidak boleh ambigu. Toleransi tanpa kompromi (zero tolerance) adalah satu-satunya tindakan yang harus diambil respon yang hadapat diterima. Langkah-langkah konkret yang harus segera diambil adalah:
Investigasi internal menyeluruh: Begitu ada indikasi atau laporan, Ditjen Imigrasi melalui unit kepatuhan internal harus segera melakukan investigasi. Oknum yang diduga terlibat harus segera dinonaktifkan dari jabatannya untuk mencegah kerusakan lebih lanjut dan menghilangkan potensi pengaruh terhadap proses penyelidikan.
Proses hukum pidana: Tindakan mengubah data paspor bukan delik aduan, melainkan kejahatan jabatan. Ditjen Imigrasi wajib menyerahkan oknum tersebut kepada aparat penegak hukum (Kepolisian) untuk diproses secara pidana. Kolaborasi lintas instansi ini krusial untuk membongkar kemungkinan adanya jaringan yang lebih besar.
Audit sistem dan mitigasi risiko: Kasus ini harus menjadi momentum untuk melakukan audit menyeluruh terhadap Sistem Informasi Manajemen Keimigrasian (SIMKIM). Celah keamanan, baik dari sisi teknologi maupun prosedur, harus diidentifikasi dan ditutup rapat. Hak akses petugas harus dievaluasi secara berkala untuk membatasi ruang penyalahgunaan wewenang.
Transparansi Publik: Keterbukaan dalam penanganan kasus ini, tentunya dalam batas yang tidak mengganggu proses penyidikan, penting untuk memulihkan kepercayaan publik terhadap institusi imigrasi.
Sanksi Berlapis yang Menanti
Undang-undang telah mengatur tegas terhadap praktek nakal dan kejahatan keimigrasian. Sanksi yang dapat menjerat oknum petugas imigrasi tersebut bersifat berlapis, yakni sanksi pidana dan sanksi disiplin kepegawaian.
Secara pidana, Pasal 128 huruf a Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian secara spesifik dan tegas menyatakan:
“Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah): (a) setiap Pejabat Imigrasi atau pejabat lain yang dengan sengaja memberikan atau memperpanjang Dokumen Perjalanan Republik Indonesia atau Dokumen Keimigrasian lainnya dengan data yang tidak sah atau keterangan yang tidak benar…”
Ancaman pidana ini jelas dan tidak main-main, dirancang untuk memberikan efek jera maksimal bagi siapa pun yang berniat merusak integritas dokumen negara.
Di sisi lain, sebagai seorang Aparatur Sipil Negara (ASN), oknum tersebut juga tunduk pada Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Perbuatannya dapat dikategorikan sebagai pelanggaran disiplin berat, yang sanksi tertingginya adalah Pemberhentian Dengan Tidak Hormat (PTDH) sebagai PNS.
Pada akhirnya, paspor adalah wajah Indonesia di mata dunia. Menjaganya tetap bersih dan otentik adalah tanggung jawab kita bersama. Namun, tanggung jawab terbesar berada di pundak institusi Imigrasi. Tindakan tegas, tanpa pandang bulu, terhadap oknum pengkhianat adalah sebuah keharusan. Ini bukan hanya soal menghukum individu, tetapi tentang menyelamatkan marwah negara dan memastikan bahwa gerbang kedaulatan kita tetap terjaga dengan kokoh.
Sebuah kasus dugaan malapraktik dalam penerbitan paspor di salah satu kantor imigrasi di Jawa Barat mencuat ke permukaan, menyoroti potensi adanya permainan antara oknum petugas dengan calo yang membuka celah bagi praktik ilegal. Kasus ini terungkap setelah tim redaksi VOICEIndonesia.co menelusuri data seorang perempuan berinisial DSC.
Berdasarkan data yang kami peroleh, DSC, yang berasal dari Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, mengajukan permohonan paspor yang kemudian diterbitkan pada 15 April 2025 dengan nomor X55452**. Namun, di balik penerbitan tersebut, tercium aroma rekayasa data yang signifikan.
Penyelidikan menunjukkan adanya perubahan data vital pada tiga dokumen identitas DSC. Tahun kelahirannya diubah dari 1956 menjadi 1970. Manipulasi ini secara instan “memudakan” usianya dari 69 tahun menjadi 55 tahun, menciptakan selisih usia 14 tahun.
Perubahan drastis ini menguatkan dugaan adanya persekongkolan terorganisir antara calo dan oknum petugas imigrasi. Praktik semacam ini disinyalir menjadi pintu bagi oknum tidak bertanggung jawab untuk meraup keuntungan finansial dari proses yang seharusnya berjalan sesuai aturan.
Keterkaitan dengan Jemaah Haji Deportasi
Penelusuran lebih lanjut oleh tim redaksi menemukan fakta yang mengejutkan: DSC adalah salah satu calon jemaah haji yang baru-baru ini dideportasi dari Arab Saudi.
Data perlintasan imigrasi mencatat bahwa DSC:
- Berangkat dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta pada Selasa, 13 Mei 2025, pukul 23:31 WIB dengan penerbangan Saudi Arabian Airlines (SV 819).
- Dipulangkan dan tiba kembali di Bandara Soekarno-Hatta pada Selasa, 10 Juni 2025, pukul 22:25 WIB dengan penerbangan Qatar Airways (QR 954).
Temuan ini memperkuat dugaan bahwa pemalsuan usia tersebut terkait dengan modus keberangkatan haji menggunakan visa non-haji (misalnya visa kerja), sebuah praktik yang kerap disebut sebagai “haji sandal jepit”. Dugaan keterlibatan oknum petugas imigrasi di pintu perlintasan Bandara Soekarno-Hatta pun semakin menguat, karena semestinya mereka dapat mencegah keberangkatan yang tidak sesuai prosedur.
Panggilan untuk Tindakan Tegas
Kasus ini bukan sekadar pelanggaran administratif, melainkan indikasi adanya jaringan sindikat yang melibatkan oknum internal imigrasi, baik di kantor penerbitan paspor maupun di pintu tempat perlintasan Internasional.
Oleh karena itu, Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan Republik Indonesia , khususnya Direktorat Jenderal Imigrasi, didesak untuk segera mengambil tindakan tegas. Investigasi mendalam harus dilakukan untuk membongkar praktik lancung ini dan memberikan sanksi berat kepada semua oknum yang terlibat, sesuai dengan undang-undang yang berlaku.
Tindakan tegas tidak hanya penting untuk menegakkan hukum, tetapi juga untuk memulihkan kepercayaan publik terhadap institusi imigrasi dan melindungi warga negara dari praktik ilegal yang merugikan. (red)