VOICEINDONESIA.CO, Jakarta – Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) mentransformasi Balai Latihan Kerja (BLK) sebagai pusat pencetak keterampilan masa depan yang dibutuhkan Generasi Z. Langkah ini diambil karena saat ini BLK hanya menyentuh 140 ribu orang, padahal kebutuhan mencapai jutaan pekerja.
Yassierli mengakui tantangan besar terkait efektivitas, efisiensi, dan skala BLK yang masih terbatas. Pertanyaan mendasar yang dihadapi adalah apakah peserta pelatihan benar-benar bekerja sesuai keahlian yang dipelajari dan apakah informasi pelatihan telah menjangkau masyarakat luas.
“Pertanyaannya, apakah peserta pelatihan benar-benar bekerja sesuai pelatihannya? Apakah informasi pelatihan sampai ke masyarakat luas? Dan skalanya? Saat ini hanya menyentuh sekitar 140 ribu orang, padahal butuh jutaan,” katanya dalam Forum Executive Breakfast Meeting (EBM) Seri III di Jakarta, Kamis (18/7/2025).
Baca Juga: 85 Persen Pekerja RI Berpendidikan SMA ke Bawah, Menaker: AI Jadi Ancaman Berat
Untuk menjawab tantangan tersebut, Kemnaker menambahkan kurikulum baru seperti industri 4.0, creative skills, smart office, smart supply chain, dan smart healthcare. Pengembangan skill hijau (green jobs) seperti agroforestry juga tengah dikembangkan untuk mengantisipasi kebutuhan masa depan.
“Saya bayangkan dua sampai tiga tahun ke depan, balai-balai ini menjadi tempat pencetak skill masa depan yang dibutuhkan Gen Z,” katanya.
Baca Juga: Menaker Ungkap 3 Tantangan Utama PMI dalam Akses Pasar Kerja Luar Negeri
Menteri menekankan pentingnya mengatasi mismatch antara kebutuhan industri dan keahlian tenaga kerja. Pihaknya mengusulkan keterlibatan Kemnaker sejak tahap awal proses investasi agar dapat menyiapkan SDM sesuai kebutuhan sektor tersebut.
“Kami sadar bahwa lapangan kerja adalah harapan utama masyarakat. Tapi dalam kenyataannya, banyak industri tumbuh tapi kesulitan mendapatkan tenaga kerja yang sesuai. Ini bukan membalikkan fakta, ini realitas,” tegasnya.
Menteri juga menyinggung upaya membangun hubungan industrial yang lebih transformatif dengan memanfaatkan nilai gotong royong bangsa Indonesia.
“Hubungan industrial masih terkotak-kotak. Padahal kita punya DNA gotong royong. Kami ingin membangun hubungan industrial Pancasila yang transformatif,” ucapnya.