VOICEINDONESIA.CO, Jakarta — Kebijakan pemerintah yang mengizinkan penggunaan dana desa sebagai jaminan atas potensi gagal bayar Koperasi Desa Merah Putih (KDMP) menuai kecaman dari Pakar dan Pegiat Koperasi, Suroto. Ia menyebut kebijakan ini sebagai bentuk pelanggaran terhadap Undang-Undang Desa dan asas pengelolaan keuangan negara.
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 49 Tahun 2025 menjadi dasar sah pemerintah pusat untuk menjadikan dana desa sebagai penjamin risiko kredit macet dalam skema pembiayaan koperasi yang dikoordinasikan melalui Koperasi Desa Merah Putih. Namun, kebijakan ini dianggap menyimpang.
Suroto yang juga Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES), menyebut bahwa dana desa adalah hak masyarakat desa dan penggunaannya wajib berdasarkan hasil Musyawarah Desa (Musdes), bukan perintah langsung pemerintah pusat.
“Jadi, penggunaan dana desa sebagai penjaminan kredit macet untuk Koperasi Desa Merah Putih (KDMP) itu jelas melanggar otoritas desa. Selain itu, KDMP itu adalah badan hukum privat, bukan badan hukum publik. Tidak ada hak dari lembaga ini untuk merebut dana desa,” ujar Suroto dalam pernyataan resminya yang diterima di Jakarta, Kamis (31/7/2025).
Menurutnya, dana desa tidak bisa dijadikan jaminan untuk menambal risiko bisnis koperasi yang belum teruji. Ia menambahkan bahwa KDMP dibentuk secara terburu-buru tanpa struktur manajerial yang memadai, dan karenanya berisiko tinggi gagal bayar.
Suroto juga menyinggung soal peran bank BUMN dalam skema ini. Ia menyebut bahwa bank-bank pelat merah yang ditunjuk pemerintah untuk menyalurkan pembiayaan kepada KDMP sejatinya tidak bersedia menanggung risiko gagal bayar, sehingga mendorong pemerintah mencari alternatif penjaminan dari dana desa.
“Bank BUMN menolak menanggung risiko karena tahu koperasi ini belum solid. Akhirnya pemerintah menambal dengan dana desa. Ini jelas bentuk pemaksaan yang menyalahi aturan,” ujarnya.
Ia juga mengkritik latar belakang saham bank BUMN yang kini banyak dimiliki asing. Sebagai contoh, ia menyebut BRI yang sebagian besar saham publiknya telah dikuasai investor asing. “Kepentingan rakyat desa akhirnya dikorbankan demi menjaga keamanan modal asing,” tambahnya.
Tidak hanya PMK, kebijakan ini juga ditopang oleh Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2025 dan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 9 Tahun 2025. Namun, menurut Suroto, kedua regulasi tersebut lemah secara hukum karena tidak memiliki cantolan langsung dalam Undang-Undang Desa maupun Undang-Undang Perkoperasian.
“Instruksi Presiden maupun Keppres, termasuk Peraturan Menteri Keuangan yang baru diterbitkan setelahnya, itu sangat lemah dalam tata regulasi kita. Inpres dan Keppres ini tidak memiliki cantolan di UU Desa maupun UU Perkoperasian,” tegasnya.
Suroto menegaskan bahwa pemerintah perlu mencabut kebijakan ini demi menjaga integritas sistem hukum dan otonomi desa. Ia juga mengingatkan bahwa negara hukum seharusnya berjalan berdasarkan aturan, bukan atas dasar kekuasaan.