VOICEINDONESIA.CO, Kendari – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Sulawesi Tenggara (Sultra) mengungkapkan bahwa maraknya penggunaan pinjaman online (pinjol) ilegal di kalangan masyarakat, khususnya generasi muda, dipicu oleh fenomena Fear of Missing Out (FOMO) atau rasa takut tertinggal tren.
Kepala OJK Sultra, Bismi Maulana Nugraha, menyatakan bahwa pengguna terbanyak pinjol ilegal berasal dari kelompok usia produktif seperti generasi Z dan milenial, yang cenderung ingin memenuhi gaya hidup melalui akses keuangan instan.
“Biasanya mereka banyak kebutuhannya, dan salah satu caranya membeli produk itu lewat pinjol. Ini didorong oleh tren dan tekanan sosial,” kata Bismi di Kendari, dikutip dari ANTARA, Rabu (6/8/2025).
Baca Juga: Judi Online Ancam Keuangan Nasional, Ini Alasannya
Sepanjang Januari hingga Juni 2025, OJK Sultra telah menerima 97 pengaduan terkait pinjol ilegal.
Pengaduan tersebut mencakup berbagai aspek, seperti legalitas perusahaan, cara penagihan, pelunasan, restrukturisasi, hingga informasi terkait Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK).
Menurut Bismi, akses cepat dan mudah—hanya menggunakan KTP dan akun media sosial—membuat pinjol ilegal begitu diminati.
Namun, masyarakat masih kesulitan membedakan mana pinjaman legal dan ilegal.
“Konotasinya sekarang semua pinjol dianggap ilegal, padahal ada yang resmi dan diawasi OJK. Kami sebut pinjaman online yang legal sebagai ‘pindar’ atau pinjaman daring,” jelasnya.
Baca Juga: Pemerintah Bakal Awasi Ketat Game Roblox
Untuk mencegah penyalahgunaan pinjol ilegal, OJK gencar melakukan edukasi melalui media sosial, pemerintah daerah, hingga pelayanan langsung kepada masyarakat yang datang ke kantor OJK.
Salah satu warga Kendari, Fadly Septian, mengatakan bahwa pinjaman online memang bisa menjadi solusi kebutuhan mendesak, tapi berisiko tinggi terhadap keamanan data pribadi, terutama jika berasal dari layanan ilegal.
“Pinjaman daring itu sebaiknya dipakai oleh orang yang sudah punya penghasilan. Jangan cuma karena ingin memenuhi keinginan pribadi lalu terjerat utang tanpa bisa membayar,” katanya.
Fadly juga berharap pemerintah bisa menekan platform pinjaman online untuk menerapkan verifikasi lebih ketat, seperti mencocokkan data pekerjaan atau penghasilan sebelum pencairan pinjaman.
