VOICEINDONESIA.CO, Jakarta – Mantan Pekerja Migran Indonesia (PMI) asal Nusa Tenggara Barat (NTB), Yusri Albima mengungkapkan biaya penempatan Government to Government (G2G) ke Korea, masyarakat harus merogoh kocek minimal Rp60-100 juta karena harus ke Pulau Jawa untuk mengikuti pelatihan. Kondisi ini terjadi karena di NTB belum ada Lembaga Pelatihan Kerja (LPK) yang menyediakan program untuk Korea dan Jepang.
Hal tersebut terungkap dalam Rapat Panja Pengawasan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia di Gedung Nusantara, Jakarta, Senin (17/11/2025).
“Yang G2G saja, G2G ke Korea kami orang NTB harus ke Jawa itu minimal 60-100 juta uang yang harus kami sediakan untuk belajar dan lain-lain. Karena di NTB belum ada itu LPK yang sediakan untuk Korea, Jepang, dan lain-lain. Kami harus ke Pulau Jawa. Di sana ada BP3MI NTB tapi proses untuk Korea ini harus di Semarang atau di Jakarta,” ungkap Yusri.
Baca Juga: SBMI Tuding Kemenhub Membangkang Putusan MK soal Perlindungan AKP Migran
Kondisi ini bertentangan dengan amanat Pasal 30 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 yang menyatakan PMI tidak dapat dibebankan biaya penempatan. Namun faktanya, baik melalui perusahaan penempatan (P3MI) maupun Lembaga Pelatihan Kerja, biaya tetap sangat tinggi.
“Saya ingin meng-underline terkait undang-undang 18 yang banyak sekali diabaikan. Contoh yang tadi disebutkan pasal 30 PMI tidak dapat dibebankan biaya penempatan tapi faktanya biaya itu sangat tinggi. Baik melalui petiga MI ataupun teman-teman yang berangkat melalui LPK,” tegas Yusri.
Baca Juga: PMI Dilarang Pegang HP, KSPSI Usul Akses Komunikasi Seminggu Sekali
Perwakilan Migrant Care menambahkan bahwa pemerintah Indonesia gagal menjalankan amanat pembebasan biaya penempatan. Padahal skema ini bisa membebaskan pekerja migran Indonesia dari jeratan utang yang menjadi pintu masuk ke tindak pidana perdagangan orang.
“Kita tahu memastikan migrasi aman, murah dan tidak membebani itu adalah salah satu tujuan dari Global Compact of Migration yang telah diadopsi oleh pemerintah Indonesia. Namun sampai sekarang pemerintah Indonesia dalam hal ini KPIIMI dan Kemenaker gagal menjalankan amanat pembebasan biaya penempatan sebagaimana yang tercantum di dalam Pasal 30 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017,” papar perwakilan Migrant Care.
Kritik keras juga dilayangkan kepada skema Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang ditawarkan pemerintah. Dengan devisa negara dari pekerja migran mencapai Rp250 triliun, meminta mereka berutang melalui KUR dinilai tidak masuk akal dan berpotensi menjadi beban baru.
“PMI ini kan menghasilkan devisan negara 250 triliun. Harusnya pemerintah tidak menjerat teman-teman CPMI dengan hutang berupa KUR. KUR itu kan kredit. Mau lunak, mau persentasenya 6%, itu kan hutang namanya. 250 triliun itu kemana uangnya? Kenapa tidak dikeluarkan kembali untuk teman-teman PMI ini? Bangun LPK di mana-mana,” protes Yusri.
Perwakilan Migrant Care menegaskan bahwa jeratan utang atau debt bonded merupakan pintu masuk ke tindak pidana perdagangan orang, dan pemerintah tidak memiliki peta jalan menuju pembebasan biaya penempatan.
“Karena jeratan utang atau debt bonded itu adalah entry point ke tindak pidana perdagangan orang. Sampai saat ini pemerintah Indonesia itu tidak memiliki peta jalan menuju pembebasan biaya penempatan untuk pekerja migran Indonesia,” ungkap perwakilan Migrant Care.
Persoalan diperparah dengan minimnya Balai Latihan Kerja Luar Negeri (BLKLN) di daerah. Janji Presiden Prabowo untuk membangun 100 BLKLN hingga kini belum terealisasi, padahal revitalisasi BLKLN yang sudah ada bisa menjadi solusi cepat.
“Pak Presiden Prabowo menjanjikan 100 BLKLN. BLKLN nggak tahu sampai hari ini, sepertinya belum dibangun. Padahal tidak perlu membangun yang baru. Revitalisasi saja BLKLN yang ada di daerah-daerah. Kayak kami di Bima misalkan. Di Bima ada LTSA tapi tidak ada LPK. Yang ada LPK P3 MI. Kami orang Bima harus ke Lombok Timur. Di sana ada BLKLN milik pemerintah,” contoh Yusri.
