VOICEINDONESIA.CO, Jakarta – Ketua Federasi Buruh Migran Nusantara Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (F-Buminu Sarbumusi), Ali Nurdin Abdurrahman, mengungkapkan potret buram kondisi pekerja migran Indonesia (PMI) yang hingga kini masih berjuang sendirian menghadapi berbagai persoalan mendasar, mulai dari birokrasi berlapis hingga kurangnya payung perlindungan terpadu.
Menurut Ali, hampir tiga puluh kementerian dan lembaga pemerintah memiliki tugas terkait pekerja migran. Namun alih-alih menghadirkan perlindungan yang komprehensif, koordinasi antar-instansi justru berjalan sendiri-sendiri.
Ali menyebut para PMI sebagai “tulang punggung ekonomi terlupakan” yang martabatnya terus terinjak di tengah tumpang tindihnya kewenangan pemerintah dalam menangani isu migrasi.
Baca Juga: Devisa Rp 253 Triliun Terbuang Sia-sia, Purna Migran Bisa Jadi Arsitek Industri Nasional
“Ketika berbagai instansi sibuk mengklaim perannya, pekerja migran justru masih harus berjuang sendirian menghadapi birokrasi yang rumit, agen nakal, serta minimnya akses terhadap pendidikan, pelatihan, dan advokasi hukum,” ujar Ali dalam keterangan yang diterima Voiceindonesia.co di Jakarta, Rabu (20/11/2025).
Ia menegaskan bahwa banyak PMI tidak memahami kontrak kerja yang mereka tandatangani. Mereka tidak tahu ke mana harus melapor ketika haknya dilanggar, dan tidak mendapat pendampingan psikososial saat menghadapi kekerasan.
Baca Juga: Benarkah Sindikat TPPO Libatkan Aparat Negara?
“Dalam kondisi seperti ini, perjuangan untuk memperbaiki nasib pekerja migran tidak bisa lagi dilakukan secara terpisah,” tegasnya.
Ali mendesak pembentukan kekuatan kolektif yang melampaui sekat kementerian dan lembaga dengan berbagai latar belakang politik. Sebuah gerakan yang menyatukan semangat melindungi untuk memperjuangkan hak pekerja migran secara terintegrasi.
Pengalaman menunjukkan, lanjut Ali, ketika perjuangan dilakukan secara parsial, hasilnya hanya sebatas seremonial.
“Ketika dilakukan secara bersama-sama, dengan satu suara dan arah yang jelas, negara tidak bisa lagi menutup mata,” tegas Ali.
Kekuatan gerakan bersama ini tidak hanya penting untuk memperkuat kebijakan perlindungan, tetapi juga untuk memperjuangkan kesetaraan sosial bagi para PMI dan keluarganya.
Ali menyebut stigma terhadap pekerja migran masih lekat karena mereka dianggap kelas dua dalam struktur tenaga kerja. Padahal di banyak negara, mereka justru menjadi tumpuan produktivitas ekonomi.
“Gerakan kolektif dapat mengubah narasi bahwa bekerja di luar negeri bukan aib, melainkan bentuk pengabdian dan ketahanan ekonomi keluarga serta ekonomi negara,” katanya.
Lebih jauh, Ali menyebut gerakan bersama juga dapat menjadi jembatan antara kebijakan nasional dan kebutuhan riil di lapangan. Misalnya, memperjuangkan skema jaminan sosial lintas negara, pendampingan hukum berbasis komunitas di luar negeri, dan pemberdayaan ekonomi bagi keluarga pekerja migran di desa.
Menurutnya, konteks global saat ini menuntut solidaritas baru. Ketika ekonomi dunia berfluktuasi, kebijakan imigrasi diperketat, dan teknologi menggantikan banyak jenis pekerjaan manual, buruh migran harus siap beradaptasi dengan keterampilan baru.
Dalam hal ini, organisasi pekerja migran dapat berperan sebagai ruang edukasi dan pemberdayaan.
“Bukan hanya tempat berkumpul dan mengadu nasib, tetapi wadah membangun kapasitas, kesadaran, dan martabat bersama,” ujarnya.
Perjuangan mereka sesungguhnya bukan hanya soal upah, melainkan tentang pengakuan sebagai warga negara yang setara dan berhak atas kehidupan yang bermartabat.
Setiap pekerja migran yang berangkat meninggalkan keluarganya di tanah air membawa harapan, bukan sekadar demi ekonomi keluarga, tetapi juga demi masa depannya.
Ali menutup rilisnya dengan seruan keras agar perjuangan buruh migran menjadi gerakan nasional yang solid, terorganisir, dan berpengaruh. Gerakan yang mampu memastikan bahwa setiap tetes keringat di negeri orang dibayar dengan keadilan, perlindungan, dan kesejahteraan di negeri sendiri.
“Tanpa persatuan, pekerja migran akan terus menjadi angka di tabel statistik devisa. Tapi dengan bersatu, mereka bisa menjadi suara perubahan, bukan sekadar pahlawan devisa, melainkan pahlawan yang diperjuangkan martabatnya,” katanya.
