Sejumlah pengusaha hotel di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), dibuat terkejut oleh kedatangan surat tagihan royalti musik dari Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).
Ketua Asosiasi Hotel Mataram (AHM), I Made Adiyasa, menjelaskan bahwa LMKN mewajibkan pembayaran royalti bagi semua pelaku usaha yang menyediakan sarana hiburan, termasuk musik. Bahkan, hotel yang tidak memutar musik secara langsung tetap dianggap melanggar karena adanya televisi di kamar yang bisa digunakan untuk mendengarkan musik.
“Kami bingung, karena sebagian besar hotel tidak memiliki layanan musik seperti kafe atau restoran. Tapi LMKN menetapkan tarif berdasarkan jumlah kamar, bukan berdasarkan kursi seperti sektor kuliner,” kata Adiyasa pada Rabu (13/8/2025).
Menurutnya, penagihan dilakukan dengan pendekatan yang terkesan memaksa, dan hal ini menimbulkan ketidaknyamanan di kalangan pengusaha hotel. Ia mendorong agar para pelaku usaha yang menerima tagihan segera meminta pertemuan resmi dengan LMKN untuk mencari kejelasan.
Senada dengan itu, Ketua PHRI NTB, Ni Ketut Wolini, menyoroti belum jelasnya mekanisme penarikan royalti di daerah. Ia menyebut bahwa hingga kini, pihaknya belum pernah diajak berdiskusi oleh otoritas terkait.
Wolini juga mengkritik beban berlapis yang harus ditanggung pelaku usaha hotel dan restoran. Selain pajak daerah dan pusat, kini mereka dibebani lagi dengan pembayaran royalti lagu.
“PHRI berharap ada revisi terhadap Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, karena aturan ini makin memberatkan sektor usaha,” tutupnya.