KEDATANGAN jenazah Ngadiman, Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang meninggal akibat kecelakaan kerja di Korea Selatan, beberapa waktu lalu menjadi pengingat pahit akan risiko yang dihadapi para pahlawan devisa kita.
Namun, di balik narasi duka ini, ada isu yang jauh lebih busuk dan mendesak: tindak pidana perdagangan orang (TPPO) yang terus menggerogoti martabat dan hak PMI, serta dugaan keterlibatan oknum pejabat pemerintah yang ikut menikmati hasilnya.
Pemerintah, melalui berbagai kementerian dan lembaga, selalu menggaungkan komitmen pemberantasan TPPO. Namun, retorika harus berbanding lurus dengan aksi nyata.
Ironisnya, praktik penempatan non-prosedural masih marak, seolah ada celah besar yang sengaja dibiarkan. Celah ini seringkali dimanfaatkan oleh para pelaku TPPO, yang dengan lihainya menjerat calon PMI ke dalam jerat perbudakan modern.
Lantas, bagaimana mungkin praktik ini bisa terus berjalan tanpa adanya “cawe-cawe” atau koordinasi dari pihak-pihak yang seharusnya mengawasi?
Dugaan keterlibatan oknum pejabat pemerintah dalam rantai kejahatan ini adalah noda hitam yang tidak bisa ditoleransi. Jika benar ada aparat negara yang menangguk untung dari penderitaan rakyatnya sendiri, maka ini adalah pengkhianatan terbesar.
Pemerintah harus membuktikan keseriusannya dengan mengusut tuntas setiap laporan dugaan keterlibatan oknum, tanpa pandang bulu. Transparansi dan akuntabilitas menjadi kunci utama untuk mengembalikan kepercayaan publik.
Sorotan juga harus diarahkan pada Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (KP2MI). Sebagai garda terdepan perlindungan PMI, KP2MI memiliki tanggung jawab besar untuk menindak tegas setiap oknum Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI) yang terlibat dalam praktik penempatan non-prosedural.
Tidak cukup hanya dengan sanksi administratif; jika terbukti ada unsur pidana, maka jalur hukum harus ditempuh.
KP2MI tidak boleh tebang pilih. Baik P3MI besar maupun kecil yang melanggar, harus menerima konsekuensi yang sama beratnya. Ini bukan hanya soal penegakan hukum, melainkan juga tentang membangun sistem yang adil dan berintegritas.
Kasus Ngadiman hanyalah satu dari sekian banyak cerita pilu PMI, ada ribuan PMI lain yang berjuang di tengah kerentanan, entah karena terjebak praktik non-prosedural, dieksploitasi, atau menjadi korban TPPO.
Sudah saatnya pemerintah bergerak lebih dari sekadar respons reaktif pasca-tragedi. Dibutuhkan strategi komprehensif, koordinasi lintas sektor yang kuat, dan political will yang teguh untuk memberantas akar-akar TPPO, melindungi PMI, dan membersihkan tubuh birokrasi dari parasit-parasit yang mengambil keuntungan dari penderitaan mereka.
Waktu untuk beretorika sudah habis. Kini saatnya beraksi, membuktikan bahwa negara benar-benar hadir untuk melindungi warga negaranya, bukan justru membiarkan mereka menjadi komoditas.