Jakarta – Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) menyoroti hak restitusi yang tidak didapatkan oleh korban TPPO.
Ada 6 putusan pengadilan dengan hak restitusi yang hingga saat ini masih belum dieksekusi dengan total Rp3.707.895.396. Salah satu korban yang belum menerima restitusi atas Putusan Pengadilan 484/Pid.Sus/2016/PN Cibinong adalah Teten Sumarna.
Teten bersama SBMI telah menempuh berbagai cara untuk mencairkan hak restitusi dengan meminta penjelasan dari Kejaksaan Negeri Cibinong dan Pengadilan Negeri Cibinong.
Namun sampai sekarang Teten tidak mendapatkan jawaban. Teten juga menanyakan proses restitusi kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), tetapi LPSK juga tidak bisa memberikan jawaban pasti.
Terhadap penundaan berlarut pembayaran uang restitusi, Teten bersama SBMI sudah adukan hal ini kepada Ombudsman RI pada tahun 2016, namun Teten lagi-lagi tidak mendapat jawaban yang pasti.
“Saya sangat kecewa karena hak restitusi saya dan teman-teman sudah 7 tahun tidak kunjung ada kejelasan bagaimana prosesnya. Saya mengalami kerugian besar karena menjadi korban TPPO, kini saya mengalami kerugian besar lagi karena mengeluarkan biaya untuk mendatangi berbagai instansi menuntut hak restitusi saya yang dijanjikan Putusan Pengadilan. Saya bisa berharap dengan siapa lagi?” Tegas Teten.
Ketua Umum SBMI, Hariyanto Suwarno menegaskan minimnya penanganan kasus melalui jalur hukum disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya seringkali pelaku yang memperdagangkan adalah saudara dekat bahkan ada beberapa yang masih saudara kandung, seringkali korban dan keluarga mendapatkan ancaman dari pihak luar untuk tidak melanjutkan kasusnya ke ranah hukum, bahkan ada beberapa yang meminta untuk dicabut kuasanya dari SBMI.
Selain itu korban kerap kali memilih penyelesaian kasus yang cepat, sementara proses penanganan melalui jalur hukum berbelit-belit dan lama.
Adanya oknum dari pihak penyidik yang tidak berperspektif korban dan cenderung menyalahkan korban juga menyebabkan korban untuk enggan melaporkan kasus perdagangan orang.
“Ada penyidik yang tidak memiliki kecukupan pengetahuan tentang pemahaman Tindak Pidana Perdagangan Orang dan dalam beberapa peristiwa dengan sengaja melemahkan bukti-bukti yang diberikan korban, sehingga laporan sering kali ditolak dan/atau dihentikan. Hal ini mengindikasikan adanya dugaan penyidik melakukan praktik kotor bermain dengan pelaku,” tegas Hariyanto.
Melalui momentum ini, SBMI mendesak Presiden RI untuk memerintahkan Kapolri menyegerakan restrukturisasi Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan dan Pencegahan TPPO agar kasus-kasus yang mandek dan kasus-kasus TPPO lainnya segera mendapatkan kepastian hukum.
Kepolisian harus meningkatkan kapasitas para penyidik yang menangani kasus TPPO, terutama kasus-kasus yang ada di Polda, Polres yang berada di wilayah kantong buruh migran.
SBMI juga mendesak Kejaksaan RI agar lebih berkomitmen dalam penuntutan terhadap pelaku TPPO, terutama memastikan hak restitusi korban terpenuhi.
SBMI juga mendesak Mahkamah Agung RI agar melakukan penguatan kapasitas terhadap Hakim yang menangani kasus TPPO, terutama sensitifitas saat melakukan pemeriksaan terhadap korban