VOICEINDONESIA.CO, Jakarta – Menteri Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI) Abdul Kadir Karding mengungkapkan pekerja migran Indonesia yanh berada di Kamboja dan Myanmar bekerja secara ilegal. Modus mereka masuk ke dua negara di Asia Tenggara itu memakai visa turis.
Hal itu dikatakan Menteri Karding saat rapat kerja bersama dengan Komite III Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Selasa (25/2/2025).
“Jadi tidak ada satu pun orang berangkat ke Myanmar itu pakai visa kerja. Mereka berangkat pakai visa turis, transit di Thailand, Malaysia, tidak ada yang langsung ke Myanmar dan Kamboja,” kata Karding.
Baca Juga: Polri Prediksi Puncak Arus Mudik Lebaran 2025 di 28-30 Maret
Karding menegaskan hingga saat ini Pemerintah Indonesia tidak pernah melakukan kerja sama penempatan pekerja migrannya di Kamboja dan Myanmar.
Dia menambahkan, upaya ilegal yang nekat dilakukan pekerja migran mengelabuhi keimigrasian hingga menggunakan jalur tikus untuk bekerja di Kamboja dan Myanmar sebenarnya di luar tanggung jawab pemerintah.
Namun mengemban amanat konstitusi, Karding menegaskan akan terus memberikan pelindungan terhadap warga negara Indonesia sekaligus terus aktif melakukan penyuluhan akan bahaya menjadi pekerja migran ilegal atau unprosedural.
“Belum pernah ada kerja sama bilateral atau multilateral penempatan tenaga kerja ke Kamboja dan Myanmar, nggak ada. Jadi sebenernya kami tidak bertanggungjawab itu. Walaupun itu warga kita, mau tidak mau harus kita lindungi,” kata Menteri Karding.
Baca Juga: Menlu RI dan Swiss bahas penguatan kerja sama bilateral ekonomi
Berdasarkan sejumlah kejadian terdahulu, keberadaan pekerja migran Indonesia ilegal biasanya baru diketahui setelah mereka menjadi korban penyiksaan di Kamboja dan Myanmar.
Oleh karena itu, Karding menyarankan agar masyarakat tidak tergiur dengan iming-iming gaji tinggi sehingga nekat masuk Kamboja atau Myanmar untuk bekerja secara ilegal. Dia menyarankan agar mereka yang berkeinginan bekerja di luar negeri menempuh jalur prosedural untuk menghindari kejahatan di negara tujuan.
“Setelah mereka kena siksa di sana, baru viral, baru kita tahu, oh ada warga kita kena siksa di sana. Baru kami koordinasi dengan kementerian luar negeri,” ungkap Karding.