VOICEINDONESIA.CO, Jakarta – Komisi IX DPR RI mendesak pemerintah segera membentuk pusat bantuan hukum khusus untuk pekerja migran Indonesia (PMI) yang berada di luar negeri. Desakan ini muncul dalam Rapat Panja Pengawasan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia yang digelar pada Senin (17/11/2025).
Ketua Rapat Charles Honoris menyoroti minimnya akses bantuan hukum bagi PMI yang menghadapi kasus hukum di negara tujuan. Menurutnya, kondisi ini memperburuk posisi PMI yang sudah rentan mengalami eksploitasi dan pelanggaran hak.
Rapat yang dihadiri 15 dari 21 anggota Komisi IX DPR RI tersebut juga menghadirkan sejumlah pemangku kepentingan, termasuk Serikat Pekerja Informal Migran dan Pekerja Profesional Indonesia KSPSI, Migrant Care, Serikat Buruh Migran Indonesia, Federasi Buruh Migran Nusantara K Sarbumusi, dan Serikat Buruh Migran Indonesia KSBSI Ely Rosita Silaban.
Baca Juga: Pemerintah Targetkan Kirim 500 Ribu PMI, 300 Ribu Diisi Lulusan SMK
Rapat mengungkap pelindungan PMI masih menghadapi persoalan sistemik di seluruh rantai migrasi. Mulai dari fase pra-penempatan yang kerap melibatkan praktik ilegal, manipulasi data, lemahnya pengawasan, hingga kontrak kerja tidak transparan.
“Pelindungan PMI masih menghadapi persoalan sistemik di seluruh rantai migrasi mulai dari pra-penempatan, saat penempatan, dan purna penempatan,” ungkap Charles saat memimpin rapat di Ruang Rapat Komisi IX DPR RI Gedung Nusantara I Lt.1, Jakarta Pusat.
Baca Juga: Ratusan PMI Dipulangkan dari Malaysia, Kepri Perkuat Langkah Pencegahan TPPO
Pada fase penempatan, tiga sektor paling rentan adalah pekerja rumah tangga dan pekerja korban skema TPPO Online Scam. Beberapa negara tujuan PMI belum memiliki standar minimal perlindungan seperti jam kerja, standar keselamatan, dan mekanisme komplain yang menurunkan efektivitas pelindungan terhadap PMI.
Selain itu, beberapa isu pelanggaran Hak Asasi Manusia migran yang disorot adalah meningkatnya kasus pelanggaran HAM terhadap PMI, termasuk kerja paksa, eksploitasi, kekerasan berbasis gender, dan perdagangan orang dengan pola yang semakin kompleks seperti online scam atau TPPO digital di kawasan Mekong.
“Penguatan MoU Government to Government KP2MI dengan negara yang lain, pendampingan hukum (lawyer) harus memiliki perspektif Human Right dalam mendampingi kasus hukum PMI,” tegas Charles.
Komisi IX DPR juga mendesak adanya sanksi tegas bagi agen PMI yang melanggar konvensi ILO standar norma kerja (K-ILO 29), serta penguatan pengelolaan Layanan Terpadu Satu Atap oleh pemerintah daerah untuk memudahkan proses administrasi bagi calon PMI.
Rapat juga mendorong kolaborasi Kemenkominfo untuk pembatasan teknologi yang mendukung tindak pidana perdagangan orang khususnya di kawasan Mekong, serta harmonisasi pengawasan antara kementerian ketenagakerjaan dan KP2MI terkait pengawasan.
Selain itu, DPR juga meminta pemerintah memberikan kemudahan regulasi pekerja migran yang legal dalam RUU PMI serta memberikan stimulus bagi calon pekerja migran dan pelindungan untuk perempuan dan anak keluarga migran.
