VOICEINDONESIA.CO, Jakarta – Dalam Rapat Panja Pengawasan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PMI) di Gedung Nusantara I Lt.1, Jakarta Pusat, Senin (17/11/2025), Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) melalui federasinya, Serikat Pekerja Informal Migran dan Pekerja Profesional Indonesia, mengusulkan aturan khusus agar PMI diperbolehkan memegang handphone.
Perwakilan KSPSI William Yani Wea memaparkan bahwa larangan PMI memegang handphone menjadi salah satu hambatan dalam sistem perlindungan. Sementara Filipina memperbolehkan pekerja migrannya mengakses komunikasi, Indonesia justru belum memiliki aturan serupa.
“PMI kita diperbolehkan memegang HP. PMI. Karena Filipina itu diperbolehkan. Karena kan pemerintahan langsung turun tangan, karena kan yang paling kuat PMI, yang perlindungan yang sangat kuat itu adalah negara Filipina. Nah, kita harapkan PMI kita boleh pegang HP. Pegang HP cukup seminggu sekali saja, untuk melaporkan ke si koordinatornya, saya aman lho,” usul William.
Baca Juga: Restitusi Rp4,2 Miliar untuk Korban TPPO Mangkrak, SBMI Desak Pemerintah Bertindak
Menurutnya, akses komunikasi meskipun hanya seminggu sekali akan sangat membantu dalam sistem pemantauan dan perlindungan pekerja migran. Banyak PMI yang berasal dari kampung tiba-tiba bekerja di luar negeri tanpa bisa melaporkan kondisi mereka kepada siapapun.
“Nah, selama ini PMI kita yang dari kampung, jangankan dari Jakarta, yang dari kampung, tiba-tiba keluar negeri, mereka meminggu mau lapor siapa. Tapi kalau mereka boleh pegang HP seminggu sekali saja, sebagian besar masalah itu selesai. Jangan sampai nanti kita cek lagi perjanjian dengan negara lain, kita paksakan supaya PMI kita diperbolehkan memegang HP dan dibolehkan melaporkan cukup seminggu sekali keadaan dia, beserta fotonya,” jelasnya.
Baca Juga: Komisi IX DPR Nilai Program Jaminan Sosial Purna PMI Belum Efektif
William menegaskan dengan sistem pelaporan berkala, dalam waktu paling lambat seminggu pihak terkait sudah bisa mengetahui jika ada PMI yang dalam kondisi tidak aman. Ini jauh lebih baik dibandingkan menunggu berbulan-bulan baru mengetahui PMI tersebut hilang atau bermasalah.
“Itu saja. Jadi kalau bisa tidak aman, dalam paling lambat waktu seminggu kita sudah tahu bahwa PMI itu tidak aman, dibandingkan sudah berbulan-bulan tiba-tiba dia hilang. Itu saja,” tambahnya.
KSPSI juga menyoroti tiga sektor paling rentan bagi pekerja migran Indonesia, yakni sektor kelautan khususnya kapal perikanan, pekerjaan rumah tangga, dan ancaman terbaru berupa TPPO 2.0 melalui online scam. Untuk sektor kelautan, organisasi ini mencatat banyak terjadi kekerasan di kapal perikanan, berbeda dengan kapal wisata atau pesiar yang relatif aman.
William menjelaskan ancaman TPPO 2.0 sebagai modus baru perdagangan orang yang memanfaatkan platform digital seperti TikTok dan Instagram untuk menjaring korban.
“Kemudian ancaman terbaru ada yang kita sebut namanya TPO 2.0. Jadi ada industri 4.0, ada industri 5.0, nah sekarang ada namanya TPPO 1.0, sekarang ada TPPO 2.0. Apa TPPO 2.0? Adalah melamarkan kerja berdasarkan skam. Skamnya itu keluar dari TikTok, dari Instagram,” paparnya.
Modus ini sangat sulit ditangani karena calon korban bisa melamar langsung melalui website yang ditawarkan, berangkat dengan visa turis, namun kemudian paspor mereka diambil dan dipaksa bekerja di negara tujuan seperti Australia atau Jepang.
