VOICEINDONESIA.CO, Jakarta – Program Sistem Penempatan Satu Kanal (SPSK) yang diluncurkan melalui Kepmenaker Nomor 291 Tahun 2018 dinilai gagal. Program yang seharusnya membuka kembali penempatan Pekerja Migran Indonesia (PMI) ke Arab Saudi secara aman ini justru dimanipulasi oleh oknum Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI) hingga pejabat pemerintah untuk kepentingan pribadi.
Federasi Buruh Migran Nusantara Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (F-Buminu Sarbumusi) pun mendesak pemerintah untuk mencabut kebijakan moratorium tersebut dengan sejumlah syarat ketat.
“Masih maraknya penempatan non-prosedural dengan memanipulasi SPSK serta melibatkan oknum pejabat pemerintah. Tidak ada tindakan tegas, pencegahan hanya bersifat seremonial. Adanya kecemburuan sosial antar asosiasi P3MI,” ungkap Ketua F-Buminu Sarbumusi, Ali Nurdin Abdurrahman kepada VOICEINDONESIA.CO di Jakarta, Rabu (19/11/2025).
Baca Juga: Moratorium Penempatan Pekerja di Timur Tengah Gagal Total: Ini Dampaknya !
Menurutnya, program SPSK mengalami kegagalan sistemik baik di dalam maupun luar negeri. Di dalam negeri, kurangnya kesadaran dan pemahaman PMI tentang sistem SPSK menjadi kendala utama. Ditambah keterbatasan infrastruktur dan sumber daya, birokrasi yang berbelit dan lambat, serta ketergantungan pada P3MI yang tidak efektif membuat program ini tidak implementatif. Yang lebih parah, tidak ada transparansi dalam pelaksanaannya.
Ali menjelaskan, SPSK menjadi sepi peminat karena pengguna lebih memilih jalur nonprosedural yang menawarkan gaji lebih murah. KBRI/KJRI juga tidak mempunyai peran dalam memverifikasi dan membuat berita acara serah terima PMI dengan pengguna atau syarikah. Akibatnya, tidak ada kontrol yang memadai terhadap penempatan PMI.
Baca Juga: Benarkah Sindikat TPPO Libatkan Aparat Negara?
Di Arab Saudi, situasinya tidak kalah rumit. Pembebanan biaya rekrut yang terlalu tinggi kepada user membuat mereka lebih memilih jalur nonprosedural. Dualisme perusahaan atau syarikah antara SPSK dengan nonprosedural menciptakan kompetisi tidak sehat. Syarikah nakal masih berperan dalam penempatan nonprosedural tanpa sanksi tegas.
“Arab Saudi dianggap setengah hati terhadap program SPSK. Syarikah nakal masih berperan terjadinya penempatan nonprosedural. Tidak ada sanksi bagi perusahaan/syarikah pelaku nonprosedural,” tegas Ali.
Melihat kegagalan moratorium dan SPSK yang tidak efektif, F-Buminu mengusulkan pencabutan moratorium dengan sejumlah syarat ketat. Syarat pertama dan paling penting adalah pemerintah Arab Saudi menyetujui gaji PRT sebesar SAR 2.000 per bulan atau sekurang-kurangnya SAR 1.800 per bulan untuk maksimal 10 jam waktu kerja per hari.
Ketua F-Buminu menjelaskan, penentuan gaji minimum ini memiliki alasan strategis. Dengan gaji yang tinggi, hanya warga negara Arab yang mampu dan benar-benar membutuhkan yang dapat menggunakan jasa PMI. Ini akan dapat membatasi jumlah pengguna sekaligus menyaring mereka yang layak mempekerjakan PMI.
“Banyaknya persoalan PMI selama ini akibat minimnya pengawasan sehingga pengguna tidak layak atau blacklist tidak terverifikasi masih bisa mengambil PMI. Akibatnya, permasalahan semakin bertumpuk dan penyelesaian menjadi lambat,” jelasnya.
Syarat kedua yang tidak kalah penting adalah Menteri Luar Negeri (Menlu) yang disaksikan Menteri Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI) harus membuat atau memperbaharui dan menandatangani bilateral agreement tentang tata kelola perlindungan PMI. Perjanjian bilateral ini adalah sebuah perjanjian yang wajib dilaksanakan sebagai komitmen kedua negara untuk mensinkronisasi undang-undang perlindungan.
Ali menegaskan, Kemlu dan KP2MI juga harus bekerjasama dengan pemerintah negara penempatan untuk mewajibkan warga negaranya yang mempekerjakan PMI melaporkan dan mengantarkan pekerjanya ke KBRI/KJRI atau Help Desk dalam waktu tiga bulan. Ini penting untuk memastikan pendataan atau pemutakhiran data dan hal-hal lain yang diperlukan.
“Kita harus belajar dari Filipina. Melalui Philippine Overseas Employment Administration (POEA), negara mengelola langsung penempatan pekerja migran. POEA bertindak sebagai regulator sekaligus pelindung. Hasilnya, Filipina diakui sebagai negara dengan sistem perlindungan pekerja migran terbaik di Asia Tenggara,” ujarnya.
Syarat ketiga adalah program repatriasi atau pemutihan bagi PMI yang melanggar aturan keimigrasian, non dokumen, overstayer untuk segera melaporkan diri. Pemerintah negara penempatan harus menindak tegas warga negaranya yang masih mempekerjakan atau menampung PMI yang melanggar keimigrasian. Langkah ini penting untuk pendataan, pengakuan, dan perlindungan agar tidak terjadi tumpang tindih permasalahan.
F-Buminu juga mendesak implementasi SPSK secara menyeluruh sesuai Kepmenaker Nomor 291 Tahun 2018 dengan memperkuat infrastruktur dan SDM pelayanan. Evaluasi terhadap perusahaan penempatan atau syarikah di dalam maupun di luar negeri terutama yang terlibat penempatan nonprosedural harus dilakukan dengan memberikan sanksi tegas.
“Alasan pencabutan moratorium sederhana: mengurai pengangguran, meningkatkan pengiriman PMI yang berkualitas dan bermartabat, meminimalisir pemberangkatan nonprosedural, meningkatkan perekonomian dan devisa negara, serta meningkatkan kesejahteraan PMI dan keluarganya,” pungkas Ali.
