VOICEINDONESIA.CO, Jakarta – Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) mengungkap temuan bahwa proses hukum terhadap kasus perdagangan orang di Indonesia sering kali justru menyakiti para korban. Laporan ini dirilis bertepatan dengan peringatan Hari Anti Perdagangan Orang Sedunia yang jatuh pada 30 Juli 2025.
Dalam siaran pers yang diterima VOICEINDONESIA.CO di Jakarta, Selasa (29/7/2025), SBMI menyebut bahwa majelis hakim di sejumlah persidangan tidak hanya mengabaikan, tetapi juga merendahkan korban secara terbuka.
“Di ruang sidang, korban bukan hanya diabaikan, tetapi juga dipermalukan secara terbuka oleh majelis hakim. Hakim mempertanyakan alasan pelaporan korban, menyudutkan perempuan atas pengalaman kekerasannya, dan dalam beberapa kasus bahkan korban dijerat dengan pertanyaan-pertanyaan tak mendasar yang bertentangan dengan prinsip peradilan berbasis korban,” tulis SBMI dalam laporannya.
Baca Juga: SBMI: Negara Gagal Hentikan Eksploitasi Buruh Migran
Organisasi ini juga mengungkap lima wilayah pengadilan yang bermasalah, yakni Serang, Pemalang, Malang, Indramayu, dan Sukadana. Di Serang, polisi menolak laporan karena korban masih di luar negeri. Di Indramayu, korban hamil diperiksa delapan jam tanpa fasilitas ramah perempuan.
Di Pemalang, SBMI menemukan calon awak kapal perikanan ditampung berbulan-bulan tanpa kepastian.
Baca Juga: 9 Hari Menuju Mogok Nasional: Buruh Transportasi Mendesak Menteri
“Di Pemalang, para calon awak kapal perikanan ditampung secara berbulan-bulan tanpa kejelasan pemberangkatan, dan ketika kasus terungkap, para korban justru ditempatkan di panti sosial tanpa fasilitas layak dan tanpa pelindungan,” papar SBMI.
SBMI mencatat bahwa beberapa korban bahkan kembali diperdagangkan ke luar negeri setelah dilepas tanpa reintegrasi. Di Malang, korban justru mendapat tekanan dari hakim, dan di Lampung Timur mereka diarahkan berdamai dengan pelaku.
“Di Malang, perempuan korban malah diintimidasi oleh hakim di ruang sidang, dan diposisikan sebagai penyebab kegagalan teman-temannya berangkat kerja karena pelaporan yang dilakukannya. Di Lampung Timur, aparat justru menyarankan korban berdamai dengan pelaku, disertai tekanan agar menerima uang damai,” lanjut SBMI.
Baca Juga: Pegiat Buruh Soroti Postingan KP2MI Soal Ekspor Jasa: Pekerja Migran Bukan Komoditas Perdagangan
SBMI menilai kekerasan juga terjadi dalam proses hukum, bukan hanya saat perekrutan atau penempatan.
“Kekerasan terhadap buruh migran tak hanya terjadi saat perekrutan atau penempatan, tetapi juga di tengah sistem hukum yang semestinya menjadi ruang pemulihan,” tambah SBMI.
Mereka mengungkap bahwa selain korban, para pendamping pun menjadi sasaran intimidasi dan ancaman hukum.
“Di Sukadana Lampung Timur para Korban digugat Perdata oleh Pelaku, sedangkan para pendamping di Malang dan Pemalang mendapatkan ancaman intimidasi dan kriminalisasi,” pungkasnya.