VOICEINDONESIA.CO, Jakarta – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan mengkaji potensi kebocoran anggaran sebesar Rp5 triliun dalam proses pengadaan barang dan jasa penyelenggaraan haji. Angka itu diperkirakan mencapai 20 hingga 30 persen dari total anggaran Rp17 triliun.
Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu menyatakan hasil kajian tersebut nantinya akan direkomendasikan Kedeputian Pencegahan dan Monitoring KPK kepada Kementerian Haji dan Umrah sebagai bahan evaluasi agar tidak terjadi kebocoran pada tahun berikutnya. Rekomendasi tersebut bisa berupa perubahan penyelenggara katering, penginapan, atau bahkan pergantian petugas.
“Terkait dengan anggaran haji yang setiap tahun itu ada kebocoran sekitar Rp5 triliun, itu bisa dilakukan monitoring oleh Direktur Monitoring, dilakukan evaluasi,” kata Asep kepada wartawan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (1/10/2025).
Baca Juga: KPK Pilih Pasal Kerugian Negara, Bukan Suap di Kasus Kuota Haji
“Sehingga dalam pelaksanaan haji di tahun berikutnya, misalkan tahun 2026 dan seterusnya, kebocoran-kebocoran itu bisa diantisipasi, dibuatkan SOP-nya,” lanjutnya.
Asep menegaskan apabila hasil kajian menemukan adanya indikasi tindak pidana korupsi, maka Kedeputian Penindakan dan Eksekusi KPK akan mengambil langkah penindakan.
Baca Juga: KPK Tetapkan 5 Tersangka Kredit Fiktif BPR Jepara Artha Rp 263,6 Miliar
“Apabila hasil monitoring itu nanti ada ditemukan bahwa terjadi tindak pidana korupsi, itu bisa juga langsung disampaikan kepada Penindakan, Kedeputian Penindakan untuk dilakukan penindakan,” ucapnya.
Sebelumnya, Wakil Menteri Haji dan Umrah, Dahnil Anzar Simanjuntak menyebut kebocoran tersebut menjadi salah satu penyebab mahalnya Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH). Pemerintah menggandeng Kejaksaan Agung untuk memperkuat pengawasan pada seluruh tahapan pengadaan haji.
“Perintah Presiden begitu. Ini masih satu tahapan, makanya kami sangat membutuhkan bantuan dari Kejaksaan Agung. Tadi Prof Reda (Jamintel) dan tim sudah menyatakan akan fokus membantu,” ujar Dahnil di Jakarta, Selasa (30/9/2025) lalu.
Dahnil menjelaskan struktur biaya penyelenggaraan haji Rp17 triliun terbagi dalam 10 proses pengadaan utama, dengan porsi terbesar berasal dari transportasi udara, layanan syarikah, katering, dan akomodasi jamaah di Arab Saudi. Dari 10 tahapan itu, potensi kebocoran diperkirakan mencapai Rp5 triliun per tahun.
“Dari Rp17 triliun total biaya penyelenggaraan haji untuk memberangkatkan 203 ribu orang, kebocoran 20 sampai 30 persen berarti hampir Rp5 triliun. Itu yang kami ingin tekan semaksimal mungkin, kalau bisa nol kebocoran,” kata dia.
Dahnil mencontohkan efisiensi yang berhasil dilakukan pada layanan syarikah. Tahun lalu, biayanya mencapai 2.300 riyal per orang. Namun tahun ini, setelah melalui lelang terbuka, biayanya berhasil ditekan menjadi 2.100 riyal.
“Pemotongan biaya syarikah ini sudah menghemat hampir Rp180 miliar. Itu tanpa pungli, tanpa manipulasi. Ini contoh konkret bahwa efisiensi bisa dilakukan jika tata kelola diperbaiki,” jelas Dahnil.
Dahnil menegaskan jika kebocoran anggaran bisa ditekan, penurunan BPIH akan lebih realistis meskipun tantangan dari fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dolar tetap ada.
“Kalau dari sisi finansial, menekan BPIH itu sulit karena dolar naik. Tahun ini patokan kita sudah Rp16.500, sementara tahun lalu masih Rp16.000. Tapi bila kebocoran bisa ditekan, upaya menurunkan BPIH akan jauh lebih realistis,” kata dia.
“Kami ingin memastikan BPIH turun, sesuai arahan Presiden. Dan di situlah kami memohon peran aktif Kejaksaan Agung,” ujarnya.