VOICEINDONESIA.CO, Jakarta – Anggota Komisi X DPR RI, Abdul Fikri Faqih menegaskan pentingnya memasukkan rencana induk pendidikan nasional dalam Revisi Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas). Ia menyebut absennya cetak biru atau blue print pendidikan sebagai akar utama ketertinggalan Indonesia dari negara-negara tetangga dalam bidang pendidikan.
Fikri menilai revisi UU Sisdiknas harus selaras dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) menuju Indonesia Emas 2045. Legislator dari Dapil IX Jawa Tengah itu menyoroti lemahnya konsistensi perencanaan pendidikan di masa lalu.
“Kemarin, menteri yang lalu (Nadiem Makarim) membuat peta jalan untuk 15 tahun. Padahal, RPJPN kita 20 sampai 25 tahun. Peta jalan yang 15 tahun saja belum tentu selesai, apalagi jika tidak disesuaikan dengan visi besar negara,” katanya di Jakarta, Rabu (16/7/2025).
Baca Juga: Kemenko Kumham Imipas Dorong RUU Keamanan Laut Masuk Prolegnas 2025-2029
Politikus PKS ini menilai masalah utama bukan terletak pada pasal-pasal yang usang atau tidak relevan, melainkan pada ketiadaan kompas pengembangan pendidikan jangka panjang.
Fikri menegaskan DPR belum memiliki blue print yang jelas untuk mengarahkan sistem pendidikan nasional.
“Yang menjadi catatan kami adalah adalah kita belum punya blueprint atau cetak birunya, belum punya rencana induk,” ujar dia.
Baca Juga: KP2MI Soroti RUU PMI, Abaikan Nasib Pekerja Magang di Luar Negeri
Undang-undang yang telah berusia 22 tahun tersebut memang memerlukan pembaruan mendesak. Fikri menjelaskan revisi akan fokus pada beberapa aspek vital seperti pengembangan kompetensi guru, pembaruan kurikulum yang relevan dengan dunia kerja, hingga sistem penerimaan mahasiswa baru.
Namun, semua upaya teknis tersebut dinilai tidak akan membuahkan hasil optimal tanpa adanya visi besar yang terstruktur. Ia juga mengkritik lambatnya Indonesia dalam menyusun kerangka pendidikan yang komprehensif.
“Saya kira kita sudah telat jauh,” kata dia.
Fikri membandingkan kondisi pendidikan Indonesia dengan negara-negara tetangga yang kini lebih terarah dalam pengembangan sistem pendidikannya. Menurutnya, negara-negara yang dulunya belajar dari Indonesia kini telah memiliki blueprint yang jelas.
“Negara-negara tetangga kita itu, yang dulu belajar ke Indonesia, mereka sudah punya blueprint. Bahkan ada yang memakai kurikulum kita tahun 1974 sebagai acuan. Kenapa mereka bagus? Karena arahnya jelas,” ujarnya.
Kejelasan arah tersebut tercermin dari porsi yang seimbang antara pendidikan vokasi, akademik, dan profesi. Fikri mengatakan ketiadaan arah sistem pendidikan di Indonesia telah memicu berbagai masalah turunan, termasuk fenomena saling menyalahkan ketika lulusan SMK dituding menjadi penyumbang pengangguran terbesar.
“Itu terjadi karena memang arah pendidikan kita tidak ditentukan dulu,” ujarnya.