VOICEINDONESIA.CO, Jakarta – Ketua Komisi X DPR RI, My Esti Wijayati menyoroti terkait banyaknya kasus penahanan ijazah oleh sekolah akibat tunggakan biaya pendidikan.
Menurutnya, Praktik tersebut tidak hanya melanggar prinsip keadilan, tetapi juga mencederai hak anak untuk mendapatkan pendidikan yang bermartabat dan setara.
“Kita sepertinya juga membutuhkan kepastian mengenai beberapa hal yang muncul di masyarakat ketika Undang-Undang jelas menyatakan pendidikan dasar, SD dan SMP itu ditanggung oleh pemerintah dan tidak memungut biaya dari masyarakat,” ujar My Esti dikutip dari laman resmi DPR RI, pada Sabtu (10/5/2025).
Ia mengungkapkan bahwa salah satu isu krusial yang jadi perhatian dalam Revisi Undang-Undang (RUU) Undang-Undang No.20 Tahun 2003 terkait Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) adalah persepsi mengenai Pendidikan Gratis.
Baca Juga: Kemenkumham Soroti Penahanan Ijazah Oleh Perusahaan
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa dalam implementasinya di lapangan sering kali tidak sejalan dengan ketentuan Undang-Undang yang selama ini berlaku.
“Tetapi faktanya, 22 tahun ini tidak bisa berjalan seperti apa yang sesuai dengan Undang-Undang,” terang My Esti
Ia menegaskan bahwa ketidaksesuaian ini kerap menimbulkan kesalahpahaman, yang pada akhirnya memicu persoalan serius di lapangan.
Menurutnya, definisi dan batasan kata “gratis” dalam konteks peraturan yang ada pada UU Sisdiknas yang sudah ada masih belum bisa menjawab seluruh masalah terkait biaya Pendidikan yang ditanggung negara.
Baca Juga: Pemprov Lampung Pastikan Tak Ada Lagi Kasus Ijazah Ditahan Sekolah
Terlebih lagi, ia memaparkan, terkait adanya partisipasi pendanaan pendidikan dari masyarakat melalui komite sekolah yang kerap menimbulkan konflik antara orang tua dan pihak sekolah.
“Masalah yang sering muncul sendiri terjadi akibat komite sekolah yang cenderung salah dalam mengartikan partisipasi pendanaan Pendidikan yang dikehendaki oleh aturan,” ujarnya.
Merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2022, My Esti menyebut bahwa Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat.
“Bentuknya pun merupakan sumbangan, bukan pungutan,” tegasnya.
My Esti juga menilai bahwa RUU Sisdiknas harus memberikan kejelasan baru terkait definisi dan batasan kata “gratis” dalam konteks Pendidikan.
Sebab, menurutnya, istilah ‘gratis’ itu juga kerap digunakan sebagai bahasa politis, sehingga justru menimbulkan mispersepsi di masyarakat.
“Apakah kita beri ruang lebih kepada masyarakat yang memang ingin membantu sekolah-sekolah tersebut, atau kita bicara lebih terbuka mengenai kemampuan keuangan negara yang ditinjau dari anggaran pendidikan 20 persen itu – ini perlu diurai secara tegas di dalam pelaksanaan UU Sisdiknas yang baru,” pungkasnya.