VOICEINDONESIA.CO, Lampung – Dewan Pimpinan Nasional (DPN) dan Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Lampung Timur mendampingi 3 korban TPPO menghadiri sidang pertama gugatan perdata yang diajukan oleh Deni Maulana Yusuf di Pengadilan Negeri Lampung Timur, Selasa (21/01/2025).
Menurut SBMI gugatan ini akan menjadi preseden buruk bagi pelindungan korban TPPO, karena alih-alih mendapatkan keadilan, para korban justru diframing seolah-olah melakukan pelanggaran hukum.
Kronologi Kasus TPPO
Kasus ini bermula pada 18 Juli 2024, ketika salah satu Pekerja Migran Indonesia, Irvanudin, melaporkan LPK Momiji ke Polres Lampung Timur atas dugaan praktik TPPO.
Baca Juga: KP2MI: Peraturan Satu Pintu Perlu untuk Kurangi dan Cegah PMI Ilegal
Laporan tersebut tercatat dengan Nomor Laporan Polisi: LP/B/140/VII/2024/SPKT/Polres Lampung Timur/Polda Lampung.
Dalam laporannya, Irvanudin mengungkapkan bahwa dirinya, bersama beberapa para pekerja migran dan calon pekerja migran lain, telah menjadi korban perdagangan orang yang dilakukan oleh LPK Momiji.
Irvanudin pada tahun 2019 telah diberangkatkan oleh LPK Momiji ke Jepang dengan visa studi banding, dengan iming-iming setelah visa studi bandingnya berakhir maka akan dapat diperpanjang untuk bekerja ke Jepang.
Namun setelah 3 bulan, Irvanudin harus kembali ke Indonesia.
Setelah kembali ke Indonesia pun Irvanudin masih dihadapkan dengan eksploitasi ekonomi untuk keberangkatannya bekerja ke Jepang dengan nominal berkisar 56 juta rupiah.
Sebagai tindak lanjut, kepolisian menahan Deni Maulana Yusuf, selaku direktur LPK Momiji, berdasarkan Surat Perintah Penahanan Nomor P.Han/90/XI/RES.1.16./2024/Sat Reskrim, tertanggal 15 November 2024.
Namun, tidak lama setelah itu, Deni Maulana Yusuf merespons dengan mengajukan gugatan perdata terhadap Irvanudin,Hariyadi, dan Angga.
Baca Juga: Imigrasi Nunukan Tunda CPMI Non Prosedural
Tuntutan dan Dasar Hukum Gugatan
Dalam gugatan perdata yang diajukan ke Pengadilan Negeri Lampung Timur, Deni Maulana Yusuf menuding bahwa laporan para korban telah menyebabkan kerugian bagi dirinya.
Gugatan ini merujuk pada Pasal 1365 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa setiap perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian wajib diganti oleh pelakunya.
Selain itu, gugatan tersebut juga mengacu pada Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 dan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Bagi para tergugat yang sejatinya adalah korban perdagangan orang, gugatan perdata yang diajukan oleh Deni Maulana Yusuf terasa sebagai upaya menyudutkan dan membungkam keberanian para korban dalam melaporkan tindak pidana yang telah korban alami.
Gugatan ini tidak hanya menambah beban psikologis, tetapi juga menciptakan kesan bahwa korban perdagangan orang, yang semestinya dilindungi hak-haknya, justru dijadikan sasaran tuntutan hukum.
“Saya hanya ingin mencari pekerjaan yang layak di luar negeri, untuk membangun masa depan yang lebih baik. Tapi yang saya dapatkan justru penipuan, eksploitasi, dan akhirnya saya terjebak dalam perdagangan orang. Ketika saya berani melapor, saya malah digugat balik oleh orang yang menjerumuskan saya.” jelas Irvanuddin, salah satu korban yang digugat
Menanggapi gugatan ini, DPN SBMI dan DPC SBMI Lampung Timur menegaskan bahwa pendampingan yang diberikan kepada para korban perdagangan orang adalah langkah untuk melindungi hak-hak pekerja migran dari jerat perdagangan orang dan eksploitasi.
Baca Juga: Menaker fokus tingkat kualitas dan produktivitas tenaga kerja RI
Dewan Pimpinan Nasional SBMI dan DPC SBMI Lampung Timur bersama-sama mendampingi para korban menghadapi gugatan ini.
“Praktik-praktik TPPO yang melibatkan lembaga-lembaga seperti LPK Momiji bukan hanya kejahatan—ini adalah sistem eksploitasi yang telah lama membelenggu banyak pekerja migran Indonesia, dan saat ini, kami sedang melawan itu. Kami SBMI sebagai pendamping korban tidak akan mundur selangkah pun untuk laporan TPPO ini.” ujar Mujianto, Ketua DPC SBMI Lampung Timur
Kuasa Hukum para korban mewakili SBMI, Matthew Michele Lenggu menyatakan bahwa gugatan ini sepatutnya tidak terjadi pada korban tindak pidana.
“Bahwa tidak sepatutnya korban tindak pidana perdagangan orang digugat secara perdata. Kami berharap majelis hakim yang memeriksa perkara ini dapat memberikan putusan yang berperspektif korban.” terang Matthew
Kasus ini juga menyoroti dinamika pelindungan pekerja migran di Indonesia.
Proses hukum yang berbalik arah, di mana korban justru digugat balik oleh pelaku, mencerminkan tantangan besar dalam upaya memberantas TPPO. Selain kerugian materiil, para korban juga menghadapi tekanan psikologis yang mendalam akibat proses hukum yang berlarut-larut.
Pada sidang pertama dengan agenda Pemeriksaan Perkara Gugatan, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sukadana memulai persidangan dengan memverifikasi kehadiran penggugat dan tergugat.
Selain itu, Majelis Hakim juga memeriksa keabsahan surat kuasa khusus yang diberikan kepada kuasa hukum masing-masing pihak. Setelah proses pemeriksaan awal selesai, Majelis Hakim memutuskan untuk menunda sidang dan menjadwalkan lanjutan persidangan pada tanggal 6 Februari 2025.*