VOICEINDONESIA.CO, Jakarta – Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (Persero) 2025-2034 masih memasukkan rencana penambahan kapasitas pembangkit listrik berbahan bakar batu bara dan gas total 16,6 gigawatt (GW). Masih besarnya porsi energi fosil dalam RUPTL terbaru menunjukkan, rencana kelistrikan tersebut tidak sejalan dengan visi Presiden Prabowo yang ingin Indonesia berhenti menggunakan pembangkit fosil pada 2040, sebagaimana disampaikan saat KTT G20 di Brasil.
Direktur Eksekutif Yayasan Kesejahteraan Berkelanjutan Indonesia (SUSTAIN), Tata Mustasya mengungkapkan bahwa RUPTL terbaru merupakan kemunduran dari pernyataan Presiden di KTT G20 akhir tahun lalu mengenai komitmen transisi energi Indonesia.
“Ini akan memberi ketidakpastian bagi publik, lembaga keuangan, dan sektor swasta yang ingin beralih ke energi terbarukan. Dengan RUPTL seperti ini, komitmen Indonesia keluar dari ketergantungan pembangkit energi fosil di tahun 2040 mustahil tercapai,” kata Tata dalam keterangannya, Senin (26/5/2025).
Dominasi porsi energi terbarukan dalam RUPTL terbaru diklaim hingga 76%, di mana penambahan kapasitas pembangkit listrik energi hijau direncanakan mencapai 42,6 GW (61%) dan fasilitas penyimpanan listrik (storage) 10,3 GW (15%). Meski demikian, porsi listrik hijau ini memasukkan pembangkit listrik tenaga nuklir 500 megawatt (MW) pada 2032-2033, masing-masing 250 MW di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Selain itu, perencanaan listrik nasional juga memproyeksikan penambahan kapasitas pembangkit listrik berbahan bakar batu bara 6,3 GW dan gas 10,3 GW, setara 24% dari total tambahan kapasitas pembangkit.
Menurut Tata, revisi RUPTL diperlukan dalam kerangka industrialisasi hijau, di mana industri energi terbarukan menjadi andalan untuk mendorong industri manufaktur Indonesia yang mengalami kemandekan sejak awal tahun 2000-an. Indonesia seharusnya fokus pada pengembangan industri rantai pasok panel surya, baterai, dan kendaraan listrik yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja. “Kebijakan yang konsisten merupakan kunci, salah satunya RUPTL yang tidak memasukkan lagi pembangkit berbahan bakar fosil baru,” ungkap Tata.
Direktur Eksekutif Centre of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira menambahkan, RUPTL 2025-2034 lebih banyak mengakomodasi kepentingan energi fosil baik batu bara dan gas. Langkah tersebut menjadi ganjalan bagi iklim investasi energi terbarukan di Indonesia.
“Investor maupun pendanaan di sektor energi terbarukan dan pembangunan transmisi akan bingung dengan RUPTL, karena pemerintah tidak memiliki rencana yang ambisius dalam transisi energi. Misalnya mereka mau membangun industri komponen lokal panel surya dan baterai, ternyata arah pemerintah masih berkutat di instalasi pembangkit batu bara dan teknologi yang mahal. Ada ketidakpastian dari sisi investasi yang membuat daya saing Indonesia tertinggal,” kata Bhima.
RUPTL baru ini, Bhima menambahkan, justru berisiko menjadi batu sandungan bagi penciptaan lapangan kerja dan motor pertumbuhan ekonomi yang dibutuhkan dalam beberapa tahun ke depan. “Apa RUPTL ini menjawab target pertumbuhan 8%? Saya rasa tidak sama sekali. Tidak ada cara lain, pemerintah harus segera melakukan revisi RUPTL dengan menghapus rencana pembangunan pembangkit fosil,” ujar Bhima.